Sejarah Perkembangan Teori Sastra
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara normatif, studi sastra dibagi dalam beberapa
bidang, yakni teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra bandingan dan
kajian sastra. (Susanto, 2012:13). Teori sastra mempelajari pandangan orang terhadap sastra. Sejarah sastra berusaha
menyusun dan mempelajari karya sastra sebagai bagian dari proses sejarah intelektudal
dalam satu masyarakat.
Sejarah teori sastra dapat dipandang sebagai bagian dari pemikiran
filosofis karena sejarah teori sastra itu sendiri sama halnya dengan sejarah
pemikiran umat manusia terhadap objek seni atau sastra yang menekan pada sifat
yang lebih praktis pejabaran konsepnya. Teori sastra sendiri pada hakikatnya
dapat dipersamakan dengan ilmu keindahan atau estetika. Ilmu dan teori tentu
satu hal yang berbeda. Dengan asumsi seperti itu, menulis sejarah teori sastra
sama halnya dengan menulis sejarah estetika dalam bidang seni sastra. Namun,
sejarah teori perlu diketahui dan dipahami supaya tidak terjadi kesalahan
berpikir mengenai kedua hal tersebut.
Teori sastra sendiri memiliki berbagai pengertian seiring dengan paradigma
yang dibawanya. Teori sastra diartikan sebagai seperangkat ide-ide dan metode
yang digunakan untuk praktik pembacaan sastra. Teori sastra juga diartikan
sebagai sebuah cara atau langkah memahami sastra. Pandangan dalam teori sastra
pun mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan cara berpikir
manusia. Sejarah perkembangan teori sastra ini akan dibahas dalam bab II.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya
adalah bagaimana sejarah perkembangan teori sastra?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan
sejarah perkembangan teori sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori
berasal dasar dari theoria (bahasa
latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan
realitas. Pada tartan yang lebih luas, dalam hubungannya dengan dunia keilmuan
teori berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi,
dan telah teruji kebenarannya.
Pada
dasarnya teori dengan praktik, kumpulan
konsep dengan kumpulan data penelitian, bersifat saling membantu. Seperti
dijelaskan di atas, objek melahirkan teori, sebaliknya, teori memberikan
berbagai kemudahan untuk memahami objek.
Teori berfungsi untuk mengubah dan membangun pengetahuan. Dengan
ditemukannya metode dan teori, pengetahuan pada gilirannnya berubah menjadi
ilmu pengetahuan. Dalam karya sastra, teori-teori yang dimaksudkan berawal dari
strukturalisme dengan klimaks postrukturalisme.
Pada
umumnya, penelitian pada karya sastra memanfaatkan teori yang sudah ada. Dalam
hal ini peneliti diberikan keuntungan berupa kemudahan dalam meneliti, tinggal
menguji kembali dan menyesuaikan dengan sifat-sifat objek. Kecenderungan hal
ini didasarkan pada beberapa hal, sebagai berikut:
1. teori-teori
yang sudah ada dengan sendirinya sudah teruji, yaitu melalui kritik sepanjang
sejarahnya.
2. teori
dianggap sebagai unsure yang sangat penting, lebih dari semata-mata alat.
3. belum
terceiptanya sikap-sikap percaya diri atas hasil-hasil penemuan sendiri,
khususnya dalam bidang teori.
Menurut
Vredenbreght, teori dan penelitian harus dibangun menjadi dan dibentuk ke dalam
suatu kerangka ilmiah yang koheren. Koherensi ini jelas menjadi masalah penting
alam penelitian sastra mengingat ciri-ciri karya sastra sebagai imajinasi dan
kreativitas, hakikat yang berbeda dengan ilmu pengetahuan dengan cirri-ciri
objektif.
Pemanfaatan
teori formal, menurut Vredenbreght, memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan
usaha peneliti, sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui
hingga teori makin lama makin sempurna. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa
suatu teori tidak disajikan secara definitive, melainkan secara tentatif.
Setiap teori, dalam setiap penelitian dengan demikian akan diuji kembali,
diperluas, sehingga menghasilkan penelitian yang baru. Misalnya, dalam analisis
novel ‘Belenggu” dengan sendirinya akan memberikan simpulan yang sangat berbeda
apabila dibandingkan dengan analisis novel sebelumnya, yaitu ‘”Layar
Terkembang”.
Sebagai
alat, teori tidak harus selalu baru secara keseluruhan. Kebaruan diperlukan
dalam bentuk proses, sebagai modifikasi, cara-cara baru pada saat mempertemukan
hakikat teori dengan objek. Secara formal, teori dan metode terbatas, sedangkan
penelitian tidak terbatas. Strukturalisme adalah sebuah teori, yang secara
genesis telah ada sejak zaman aristoteles, tetapi secara terus menerus
diperbaharui sepanjang sejarahnya, dan memeperoleh bentuknya yang lebih
sempurna awal abad ke-20 hingga sekarang, tak terhitung jumlah penelitian
dengan memanfaatkan teori yang sama, yaitu strukturalisme.
Teori-teori
ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra, diadopsi melalui pemikiran
para sarjana Barat. Tradisi seperti ini sering menimbulkan perdebatan di antara
para sarjana Indonesia, antara yang tidak setuju dengan yang setuju. Kelompok
yang pertama, menginginkan agar Khazanah sastra Indonesia dianalisis dengan
memanfaatkan teori sastra Indonesia, dengan konsekuensi agar para sarjana
sastra Indonesia menemukan teori-teori sastra yang lahir melalui sastra
Indonesia, sebagai teori Indonesia asli.
Sebaliknya,
kelompok yang kedua tidak mempermasalahkan perbedaan di antaranya, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Tradisi
ilmu pengetahuan berkembang di barat, demikian juga tradisi sastra.
2. Karya
sastra sekaligus bersifat local dan universal.
3. Globalisasi,
termasuk pparadigma postmodernisme menghapuskan perbedaan antara Barat dan
Timur.
Teori
adalah ‘alat’ yang melaluinya sesuatu penelitian dapat dilakukan secara lebih
maksimal. Tujuan pokok teori tetap pemahaman terhadap objek. Oleh karena
itulah, apabila terjadi ketiakseimbangan di antara teori dengan objek, maka
yang dimodifikasi adalah teori, bukan objek. Dalam hubungan inilah dapat
dikemukakan bahwa sebuah teori disebut baik, apabila memiliki kriteria sebagai
berikut.
1. Mudah
disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianalisis.
2. Mudah
disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
3. Dapat
dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis maupun berbeda.
4. Memiliki
formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang
kompleks.
5. Memiliki
prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Teori
bersifat dinamis dan dapat dimodifikasi. Teori dapat ditafsirkan selama tidak
bertentangan dengan kaidah utamanya, sedangkan objek karya sastra ditafsirkan
secara estetika, sesuai dengan prinsip-prinsip puitika sastra. Kedua jenis
penafsiran tersebut tidak boleh dilakukan secara sepihak.
Teori dan metode berfungsi untuk
membantu menjelaskan hubungan dua gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model
hubungan yang terjadi. Teori dan metode terdiri atas konsep, proposisi, dan
kerangka kerja. Komponen-komponen tersebut tidak bersifat baku, tidak siap
pakai, tidak definitif. Dalam proses penelitian, peneliti memiliki kebebasan
menentukan unsur-unsur yang akan
dibicarakan maka setiap penelitian yang dihasilkan akan berbeda, tidak seragam
dengan kata lain, teori dan metode dapat membantu mengembangkan sumber daya
manusia. Dalam analisis sebuah novel, misalnya unsur medium bahasa dianalisis
dengan metode hermeneutic, kualitatif, komparatif, dan sebagainya, sedangkan
unsur-unsur yang lebih dalam dianalisis dengan teori strukturalisme.
Teori khusus dalam teori sastra
didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah
yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah
gejala sastra. Teori sastra dibedakan dengan kritik dan sejarah sastra.
Karya sastra merupakan bagian
integral kebudayaan, penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama
teori dalam kaitannnya dengan sastra sebagai produk sosial tertentu, kedua,
teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan
kreativitas. Karya sastra sebagai imajinasi dan kreativitas, haikat karya yang
hanya dapat dipahami oleh intuisi dan perasaan, memerlukan pemahaman yang sama
sekali berbeda dengan ilmu sosial yang lain. Dalam karya sastra, melalui medium
bahasa, baik bahasa lisan, maupun bahasa tulisan, keseluruhan perilaku sosial
hanya dapat dirasakan adanya.
Khazanah sastra Indonesia terdiri
atas dua macam, yaitu sastra lama dansastra modern. Sastra lama disebut juga
sastra Nusantara, tersebar di seluruh Indonesia dan menggunakan bahasa daerah,
sedangkan sastra modern tersebar di seluruh Indonesia tetapi dengan bahasa
Indonesia. namun, perbedaan objek sastra lama dan sastra modern tidak
memengaruhi teori dan metode penelitian, baik sastra lama maupun sastra modern
dapat diteliti dengan menggunakan metode yang sama. Melakukan suatu penelitian adalah mengadakan
pemahaman terhadap objek, sebagaimana diprasyaratkan melalui keberadaannya,
bukan semata-mata pemahaman peneliti, lebih-lebih pemahaman peneliti yang sudah
dibekali teori dan metode tertentu.
Untuk menghindarkan kepunahannya,
dokumentasi terhadap sastra lama justru diprioritaskan yang berfungsi untuk
mengungkapkan nilai-nilai cultural yang terkandung di dalamnya. Karya sastra, melalui
kompetensi medium bahasanyamemiliki fungsi yang sangat menentukan dalam
melestarikan warisan tersebut.
Aspek
kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok. Teori yang lama dengan
sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori dan metode yang baru,
demikian seterusnya hingga metode terakhirlah yang dianggap paling relevan.
Intensitas kebaruan teori disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
1. Teori
dan metode adalah alat dan cara penelitian.
2. Teori
dan metode adalah hasil penemuan.
3.
Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan.
Baik
sebagai alat penelitian dan hasil penemuan, maupun sebagai ilmu pengetahuan,
maka teori dan metode harus selalu baru, dengan tujuan agar dapat mengungkapkan
secara maksimal isi dan pesan yang terkandung dalam objek penelitian. Karya
sastra yang sama apabila dianalisi dengan menggunakan alat, penemuan dan ilmu
penegtahuan yang baru, maka hasilnya pun akan baru. Pesatnya perkembangan teori
sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh
beberapa indikator, sebagai berikut.
1. Medium
utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung
problematika yang sangat luas.
2. Sastra
memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangka dalam kebudayaan itu sendiri
juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.
3. Teori-teori
utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang
dengan sendirinya telah dimatangkan dalam berbagai disiplin, khususnya
filsafat.
4. Kesulitan
dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuan untuk menemukan berbagai cara,
sebagai teori-teori yang baru.
5. Ragam
sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang
juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam
ilmu sastra, yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan untuk
mengumpulkan data, menganalisis data, dan mneyajikan hasl penemuan. Sebagaimana
penelitian dalam ilmu sosila dan humaniora yang lain, penelitian ilmu sastra
merupakan usaha kongkret, dilakukan dengan sengaja, sistematis, dengan
sendirinya menggunakan teori dan metode secara formal. Tujuannya adalah
menemukan prinsip-prinsip baru yang belum ditemukan oleh orang lain. Lokus penelitiannya
terletak dalam antarhubungan gejala-gejal bermasalah, yang belum dipecahkan,
atau sebaliknya, sudah dipecahkan, tetapi perlu direvisi, diperluas,
diperdalam, atau ditolak sama sekali. Kualitas proposal, baik kelengkapan data
maupun kesempurnaan teori dan metodenya berpengaruh besar terhadap penyelesaian
penelitian selanjutnya.
Dikaitkan
dengan tujuannya, lokasi penelitian ada dua macam, yaitu penelitian lapangan
dan penelitian perpustakaan. Penelitian lapangan dilakukan dalam kaitannya
dengan objek penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung, seperti
penerbitan, pembacaan, penggunaan, pementasan, dan sebagainya. Penelitian
terhadap sastra lisan, resepsi siswa dan mahasiswa terhadap suatu karya
tertentu, misalnya, jelas memanfaatkan penelitian lapangan. Penelitian
perpustakaan dilakukan dalam kaitannya dengan objek dalam bentuk karya
tertentu. Artinya, objek tersebut dianggap sah, sudah cukup diri untuk mewakili
keseluruhan data yang diperlukan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel,
sebuah drama, sekumpulan puisi atau cerpen, babad, geguritan, tradisi lisan,
dan sebagainya, dianggap valid sebagai objek, baik untuk mneyusun makalah,
skripsi, dan tesis, maupun disertasi.
Pengumpuolan
data melalui penelitian lapangan pada umumnya dilakukan satu kali, kecuali
kejadian-kejadian yang digunakan sebagai objek dapat dilakukan secara
berulang-ulang. Meskipun demikian, dengan adanya instrumen teknologis, proses
pemahaman dapat dilakukan melalui pembacaan kembali. Membaca objek karya sastra
perlu dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan agar keseluruhan unsur
karya dapat dipahami secara maksimal. Secara teoretis dalam setiap pembacaan
ulang akan dihasilkan makna yang berbeda, setiap pembacaan ulang seolah-olah
merupakan pemahaman untuk pertama kali.
Keterpisahan
antara pengarang dengan karya sastra di satu pihak, totalitas karya sastra itu
sendiri sebagai replika kehidupan di pihak yang lain, mengkondisikan hadirnya
tiga macam subjek yang berbeda-beda, yaitu: pengarang, pembaaca, dan peneliti.
Sebagai pencipta, pengarang merupakan subjek pertama yang menikmati karya
sastra. Dalam hubungan ini pengarang sekaligus pencipta, dan pembaca, bahkan
juga peneliti. Perbedaannya, pengarang melalukan penelitian sebelum sebuah
karya sastra diciptakan, sedangkan peneliti yang sesungguhnya jelas mengadakan
penelitian terhadap karya sastra yang sudah diciptakan.
Subjek
berikut adalah pembaca pada umumnya. Pembaca biasa adalah mereka yang membaca
karya sastra semata-mata karena memerlukan aspek manfaat, aspek-aspek hiburannya.
Subjek terakhir, sebagai subjek yang terpenting dalam hubungan ini, adalah
peneliti. Peneliti sastra adalah mereka yang secara komprehensip telah
menyediakan diri untuk memahami karya bukan semata-mata sebagai hiburan,
sebagai akibat, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana aspek hiburan itu
bisa timbul, jadi sebagai sebab. Menemukan sebab-sebab dengan demikian adalah
tujuan utama suatu penelitian. Ciri-ciri utama karya sastra adalah aspek
estetika.
Peneliti
sastra, yang pada umumnya disebut kritikus sastra, baik sebelum maupun sesudah
penelitian dilakukan, secara sadar mengetahui teori apa yang dimanfaatkan,
metode dan teknik apa yang membantunya. Kegagalan suatu penelitian dengan
segera dapat diketahui, yaitu dengan meneliti ulang langkah-langkah yang
dilakukan, indicator-indikator yang terlibat, yang secara metodologis
mencerminkan tingkat kematangan suatu penelitian. Subjek peneliti tidak harus
merupakan produk akademis, tetapi ia harus memiliki kemampuan setingkat
akademis agar dapat menguraikan sekaligus mengorganisasikan fakta-fakta, sesuai
dengan tujuan penelitian. Peneliti adaalh mereka yang secara sadar dan mandiri
berpartisipasi aktif dalam mengembangkan karya sastra dengan cara
menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Dikaitkan
dengan ciri-ciri penelitian kualitatif, dengan mempertimbangkan keberadaan
objek secara alamiah, maka penelitia terhadap satu diantara unsur jelas
kaitannya dengantotalitas karya yang bersangkutan. Berdasarkan pembicaraan di
atas maka penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Hipotesis
dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan
geeneralisasi. Gejala sastra tidak berulang, makna tidak tetap yang justru
merupakan hakikat.
2. Populasi
dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu,
misalnya, penelitian yang melibatkan sejumlah karya, atau sejimlah konsumen.
3. Kerangka
penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan
pemahaman berkembang terus.
4. Tidak
diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat
secara terus-menerus, objektivitas terjadi pada saat penelitian dilakukan.
5. Objek
yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab sebagai hakikat
diskursif bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua dengan berbagai sistem
komunikasinya.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Paparan inti yang dapat dipetik dari
makalah ini yaitu
B. Saran
Makalah ini adalah satu di antara
literatur yang dapat dijadikan acuan untuk menambah pengetahuan, namun bukan
berarti yang tertera di sini layak untuk dijadikan referensi utama. Pembaca
dapat mencari referensi yang di dalamnya tercakup sejarah perkembangan teori
sastra di literatur yang lain atau yang leih lengkap dan ditulis oleh seorang
yang dapat dipercaya agar pengetahuan pembaca lebih variatif dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Aufa, Pustaka. 2015. Sejarah
Perkembangan Teori Sastra. (Online) (http://sastra33.blogspot.co.id/2015/07/sejarah-perkembangan-teori-sastra-teori.html, dikunjungi pada 18 Maret 2016)
Susanto, Dwi.
2012. Pengantar
teori sastra. Yogyakarta: CAPS
Komentar
Posting Komentar