TEORI-TEORI STRUKTURALISME


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sejak awal abad ke-20, teori sastra berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan teori sastra ini seiring dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi mendukung sarana dan prasaran penelitian yang secara keseluruhan juga membantu memudahkan proses penelitian sastra. Pada dasarnya, fungsi utama teori sastra adalah untuk melukiskan dan mencerminkan kehidupan manusia yang selalu mengalami perkembangan. Dalam hubungan inilah diperlukan genre dan teori yang berbeda pula.
Sejalan dengan hubungan karya sastra dengan manusia, perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat juga mendorong minat masyarakat terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Teori strukturalisme misalnya sebagai satu di antara teori yang telah berhasil memasuki bidang kehidupan manusia dan memberikan pemahaman secara maksimal kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip antarhubungan, teori formalisme, teori strukturalisme dinamik, teori semiotika, teori strukturalisme genetik, dan teori strukturalisme naratologi.
B.  Rumusan Masalah
1
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut.
1.    Bagaimana prinsip-prinsip antarhubungan dalam teori strukturalisme?
2.    Bagaimana sejarah teori formalisme?
3.    Bagaimana sejarah teori strukturalisme dinamik?
4.    Bagaimana sejarah teori semiotika?
5.    Bagaimana sejarah teori strukturalisme genetik?
6.    Bagaimana sejarah teori strukturalisme naratologi?
C.  Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1.    Mendeskripsikan prinsip-prinsip antarhubungan dalam teori strukturalisme.
2.    Mendeskripsikan sejarah teori formalisme.
3.    Mendeskripsikan sejarah teori strukturalisme dinamik.
4.    Mendeskripsikan sejarah teori semiotika.
5.    Mendeskripsikan sejarah teori strukturalisme genetik.
6.    Mendeskripsikan sejarah teori strukturalisme naratologi.


BAB II
PEMBAHASAN
Secara historis, perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu formalisme dan strukturalisme dinamik. Namun, dalam perkembangan tersebut juga terkandung ciri-ciri khas dan tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada bab II ini akan dibicarakan prinsip-prinsip antarhubungan, teori formalisme, teori strukturalisme dinamik, teori semiotika, teori strukturalisme genetik, dan teori strukturalisme naratologi.
A.  Prinsip-prinsip Antarhubungan
Konsep fungsi memegang peranan penting dalam strukturalisme. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori dapat berperan secara maksimal karena adanya fungsi. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Sejalan dengan proposisi Durkheim (Johnson, 1998: 168) mengenai masyarakat, maka dalam karya totalitas selalu lebih besar dan berarti dari jumlah unsurnya. Kualitas karya dinilai dalam totalitasnya, bukan akumulasi unsurnya. 
3
Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya sendiri, unsur dapat dipahami semata-mata dalam proses antarhubungnnya. Antarhubungan mengandaikan pergeseran nilai-nilai substansial ke arah struktural, nilai dengan kualitas bagian ke arah kualitas totalitas. Menurut Craib (1994: 177) variasi unsur dalam suatu komunitas hubungan bisa sama, tetapi variasi hubungan akan menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda. Sebagai kualitas totalitas, antarhubungan merupakan energi, motivator terjadinya gejala yang baru, mekanisme yang baru, dan akan menampilkan makna-makna yang baru. Tanpa antarhubungan unsur tidaklah berarti dan hanya berfungsi sebagai agregasi.
Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi strukturalisme, ciri-ciri antarhubungan memperoleh tempat yang memadai. Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat serta memberikan makna pada gejala-gejala yang ada. Dalam mekanisme antarhubungan juga dievokasi pola-pola yang memungkinkan terjadinya kualitas estetis. Misalnya, suatu cerita menjadi lebih  menarik karena pengarangnya pandai mengatur terjadinya suatu peristiwa dalam karya sastra, mengatur frekuensi pemanfaatan kata-kata, atau merangsang keingintahuan pembaca.
Melalui medium bahasa, pengarang hanya menyajikan unsur-unsur fisik, sebagai fabula. Antarhubunganlah yang melalui imajinasi pembaca yang mampu mengubah cerita sehingga menyerui kehidupan manusia dalam bentuk plot. Antarhubungan mengimplikasikan unsur-unsur kebudayaannya, artinya antarahubungan merupakan suatu indikator yang menyebarluaskan unsur-unsur kebudayaan sehingga khazanah suatu kebudayaan dapat dipahami oleh komunitas yang lain. Keberhasilan sebuah karya sastra dengan demikian juga ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menyajikan keberagaman antarhubungan.
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar terus memperhatikan setiap unsur sebagai suatu keutuhan. Di pihak yang lain, antarhubungan menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejaga apapun memiliki arti yang sesungguhnya. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti satu di antara unsur tertentu yang berarti memperkosa hakikat suatu totalitas. Analisis terhadap penokohan misalnya, tidak mungkin dilakukan secara terpisah dari unsur-unsur yang lain. Dengan kata lain, penokohan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkannya dengan unsur-unsur yang lain, seperti kejadian, latar, plot, dan sebagainya.
B.  Teori Formalisme
Sebagai teori sastra modern, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh tiga faktor sebagai berikut.
1.    Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, sebagai reaksi terhadap studi biografi.
2.    Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
3.    Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure merupakan langkah maju dalam mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas dikotomi antara a) signifian (bentuk, bunyi, lambang, penanda) dan signifie (yang diartikan sebagai pelambang), b) parole (tuturan, bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum-hukumnya telah disepakati bersama), c) sinkroni analisis (karya-karya sezaman) dan diakroni (analisis karya dalam perkembangan sejarahnya).
C.  Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mengarahkannya pada paradigma baru, karya sastra tidak bisa dipahami secara terisolasi semata-mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrinsiknya, tetapi juga harus melibatkan keseluruhan faktor yang membentuknya. 
Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formalisme adalah pergeseran pandangan dari unsur-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya.
Sejak ditemukannya hukum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalisme awal abad ke-20, model analisis terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gemilang.  Strukturalisme dinamika dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan internsitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya.
Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Atas dasar hakikat otonom karya sastra seperti di atas, maka tidak ada aturan yang baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan tergantung dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di pihak yang lain. Menurut Jean Piaget (1973: 97-98) justru di sini tampak dinamika karya sastra sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur global dengan unsur yang dianalisis.
D.  Teori Semiotika
Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing berakar dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Menurut Noth (1990: 307,346) ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama.
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebuah teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
Menurut van Zoest (1993:1), semiotika memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18, sekaligus mulai menggunakan istilah semiotika, yaitu oleh J.H. Lambert. Atas dasar perkembangan ilmu ketandaan seperti di ataslah Halliday (1992: 4-5) menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, di mana bahasa dan sastra hanyalah satu di antara bidang di dalamnya.
Pengkajian mengenai tanda dilakukan sepanjang abad, tetapi pengkajian secara benar-benar ilmiah baru dilakukan awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigm yang hampir sama, tetapi sama sekali tidak saling mengenal. Ferdinand de Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mazhab Eropah Kontinental), sedangkan Pierce menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson). Dalam perkembangan berikut, istilah semiotikalah yang lebih popular.
Penanda dan petanda dianggap sebagai konsep Saussure yang terpenting. Penanda, gambaran akustik adalah aspek material sebagaimana bunyi, sebagai citra akustis yang tertangkap pada saat orang berbicara. Petanda adalah aspek konsep. Penanda dan petanda memperoleh arti dalam pertentangannya dengan penanda dan petanda yang lain. Hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer.
Konsep lain adalah perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, speech, utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk sitem bahasa yang bersifat abstrak, yaitu langue. Konsep lain adalah perbedaan antara hubungan sintagmatik, hubungan linier dan kesewaktuan dalam satu kalimat, dan hubungan paradigmatik, hubungan ruang, hubungan asosiatif, hubungan yang saling menggantikan. Konsep lain adalah diakroni (diachronous, sepanjang waktu) dan sinkroni (synchronous, waktu yang sama).
Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1.    Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
a.    qualisigns, terbentuk oleh kualitas: warna hijau,
b.    sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik: rambu lalu lintas,
c.    legisigns, types, berupa hukum: suara wasit dalam pelanggaran.
2.    Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu:
a.    ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa, misalnya foto,
b.    indeks, hubungan tanda dan objek karena sebab akibat, seperti: asap dan api,
c.    simbol, hubungan tanda dan objek karena kesepakatan seperti, bendera.
3.    Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima:
a.    rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep,
b.    dicisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif,
c.    argument, tanda tampak sebagai nalar: proposisi.
Di antara representamen, object, dan interpretant, yang paling sering diulas adalah object. Menurut Aart van Zoest (1996:6), di antara ikon, indeks, dan simbol, yang terpenting adalah ikon, sebab di satu pihak segala sesuatu merupakan ikon sebab segala sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Semiotika tidak hanya diterapkan dalam karya seni, tetapi dalam semua bidang kehidupan praktis sehari-hari, juga dalam mode show atau reklame, seperti tata busana, tata hidangan, perabot rumah tangga, aksesoris, seperti mobil, dan sebagainya. Menurut Aart van Zoest (1993: 5-7), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1.    Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirim dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seperti rambu-rambu lalu lintas, dipeloppori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.
2.    Aliran semiotika konotatif, atas dasar cirri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symptom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan, dipeloporo oleh Roland Barthes.
3.    Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.
Semiotika dalam pengertian pertama terbatas sebagai semiotika struktural, sama dengan strukturalisme semiotik. Dengan adanya tanda sebagai konsep kunci dalam memahami kebudayaan, maka semiotika struktural berkembang terus, dan diperbaharui oleh para tokoh selanjutnya. Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotis. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Wellek dan Warren (1962), yaitu: a) analisis intrinsik (analisis mikrostruktur), dan b) analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Cara yang lain sebagai man dikemukakan oleh Abrams (1976: 6-29), dilakukan dengan menggabungkan  empat aspek, yaitu: a) pengarang (ekspresif), b) semestaan (mimetik), c) pembaca (pragmatik), dan objektif (karya sastra itu sendiri).
1.    Bidang-bidang Penerapan
Semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan. Menurut Eco (1979: 7) semiotika berhubungan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang secara signifikan dapat menggantikan sesuatu yang lain.
Dengan adanya tanda-tanda sebagai ciri khas yang meliputi seluruh kehidupan manusia, dari komunikasi yang paling alamiah hingga sistem budaya yang paling kompleks, maka bidang penerapan semiotika pada dasarnya tidak terbatas. Penerapan semiotika dalam ilmu sastra jelas merupakan masalah tersendiri, dengan pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai satu di antara system tanda yang sangat kompleks. Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan, di antaranya:
a.    semiotika hewan, masyarakat nonhuman,
b.    semiotika penciuman,
c.    semiotika komunikasi dengan perasa,
d.    semiotika pencicipan, dalam masakan,
e.    semiotika paralinguistik, suprasegmental,
f.     semiotika medis, termasuk psikiatri,
g.    semiotika musik,
h.    semiotika bahasa formal: Morse, aljabar,
i.      semiotika bahasa tertulis: alphabet kuno,
j.      semiotika bahasa alamiah,
k.    semiotika komunikasi visual,
l.      semiotika benda-benda,
m.  semiotika struktur cerita,
n.    semiotika kode-kode budaya,
o.    semiotika estetika dan pesan,
p.    semiotika komunikasi massa,
q.    semiotika retorika,
r.     semiotika teks.
Menurut Aart van Zoest (1993: 102—151), secara akademis semiotika dianggap sesuai diterapkan pada beberapa disiplin, seperti: arsitektur, perfilman, sandiwara, musik, kebudayaan, interaksi sosial, psikologi, dan media massa. Sandiwara dapat dianalisis secara semiotik dengan cara-cara yang sama dengan karya sastra. Menurut Aart van Zoest (1993:131) interaksi sosial terjadi sebagai akibat rangsangan dan interpretasi terhadap system tanda, baik tanda-tanda bahasa maupun nonbahasa.
Semiotika interaksi sosial jelas berkaitan dengan kelompok sosisal, mulai dari kelompok terkecil sebagai keluarga, hingga susunan yang paling luas seperti bangsa. Semiotika psikologi berkaitan dengan psiko individu dalam rangka menunjukkan identitasnya terhadap orang lain. Tanda-tanda psikologis harus digali di dalam ketaksadaran, yang kemudian tampak dalam kesadaran, pada tingkah laku secara konkret. Semiotika media massa terutama menganalisis tanda-tanda yang hadir dalam surat kabar, radio, dan televisi. Sistem tanda yang perlu dicari di dalamnya adalah ideologi yang melatarbelakangi proses pemberitaan, seperti jumlah kolom, tipologi huruf judul berita, dan ilustrasi, termasuk letak berita.

2.    Semiotika Sastra
Sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan. Sejarah, monumen, tokoh-tokoh, teknologi, bahkan kehancuran dunia itu sendiri diakibatkan oleh kemampuan bahasa. Pada dasarnya bahasa merupakan konservasi yang paling kuat terhadap kebudayaan manusia. Menurut Arthur Asa Berger (2000), sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistik, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidang yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri. Teks sastra secara keseluruhan terdiri atas ciri-ciri tersebut.
Tanda-tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda-tanda, sebagai tanada nonverbal. Untuk menafsirkannya secara semiotis maka setiap tanda dikaitkan dengan ground, denotatum, dan interpretant. Ground dan interpretant merupakan objek nyata sedangkan denotatum adalah dunia fiksional, dunia dalam kata-kata, dunia kemungkinan. Tiga sifat denotatum yaitu, ikon, indeks, dan simbol. Ikon ditandai dengan melihat persamaan ciri struktur, sebagai homologi struktural dengan satu diantara ciri denotatum yang ditunjuknya yang berfungsi untuk menarik partikel-partikel ketandaan, sehingga proses interpretasi terus-menerus.
3.    Semiotika Sosial
Semiotik sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Oleh karena itu, baik dalam strukturalisme maupun semiotik konsep antarhubungan memegang peranan yang sangat menentukan, fungsi-fungsi yang selalu diabaikan oleh para peneliti sastra.
Implikasi  lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu, teks dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman.  Model pemahaman bentuk, fungsi, dan makna. Kritik sosial, termasuk dalam ilmu sastra, pada umumnya memperoleh masukan melalui sudut pandang Marxis bahwa ide, konsep, dan pandangan dunia individu ditentukan oleh keberadaan sosialnya.  Dalam  interaksi sosial secara langsung  pertukaran  makna tersebut terlihat secara jelas sebab dilakukan sekaligus melalui tanda verbal dan nonverbal.
E.   Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur instrinsik. Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis instrinsik dan ekstrinsik.
Pada dasarnya menurut visi strukturalisme genetik, kelas yang dimaksudkan identik dengan kelas sosial pengarang. Kenyataan ini memilki implikasi metodologis dalam kaitannya dengan penelitian sosialogi sastra yang pada umumnya memandang karya sastra sebagian yang tak terpisahkan dengan pengarang.
F.   Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi berasal dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen(cerita)an. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan subjek, predikat, dan objek penderita.
Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atau fiksional dalam urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal, 2985: 119) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek sebagai linguistis, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya, yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan.
Menurut Bal (1985:5), pembaca membaca wacana dan teks yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Sebagai satu di antara analisis diskursif, khususnya dalam kaitannya dengan visi kontemporer, menurut Thompson (2003:27), cerita dan penceritaan dimanfaatkan untuk melegitimasikan kekuatan dan kekuasaan bagi mereka yang memilikinya. Dalam hubungan ini analisis naratif merupakan bagian ideologi, atau sebaliknya.
Naratologi pascastrukturalis merupakan satu di antara kajian yang banyak menarik minat, sebagai kajian interdisipliner, dengan pertimbangan, di satu pihak naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra, melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia. Di pihak lain, aktivitas kebudayaan adalah teks, yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks.
Dalam khasanah sastra Barat, selama dua abad pembicaraan mengenai bentuk naratif dikaitkan dengan novel. Artinya, ada kecendrungan di antara para penulis apabila membicarakan masalah naratif perlu mengaitkannya dengan novel. Alasan memasukkan novel sebagai genre utama diakibatkan oleh pemanfaatan struktur cerita dan penceritaan yang sangat kompleks, dengan peralatan yang menyertainya, seperti: kejadian, tokoh-tokoh, latar, tema, sudut pandang, dan gaya bahasa. Dilihat dari media yang tersedia, novel juga merupakan obejek yang paling memadai, paling luas, sehingga segala unsur penceritaan dapat dikemukakan. Di samping novel,  roman, dan cerpen, juga termasuk puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juaga bentuk cerita dalam media massa.
Secara historis, menurut Marie-Laureryan dan Van Al-Phen (Makaryk, ed., 1990: 110-114) naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode prastrukturalis (−hingga tahun 1960-an), periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an), dan periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hinggan sekarang). Awal perkembangan teori narasi dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles (cerita dan teks), Henry James (tokoh dan cerita), Forster (tkoh bundar dan datar), Percy Lubbock (teknk naratif), dan Vladimir Propp (peranan dan fungsi).
Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet, cerita dan plot. Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (histoire dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text), A.J. Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans), dan Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration). Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya di antaranya: Gerard Genette (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald Prince (struktur narratee), Seymour Chatman (struktur naratif) , Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Mary Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillard (hiperealitas, pastiche).
Beberapa naratolog yang dianggap penting mewakili zamannya sebagai berikut. 
1.    Vladimir Lakovlevich Propp
Propp (1895-1970) dianggap sebagai struktualis pertama yang membicara secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia, yang dilakukan tahun 1928, tetapi baru dibicarakan secara luas tahun 1958. Propp menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya sama. Menurut Propp (1987:24-27; cf. Scholes, 1977:60-73; Junus, 1988:62-72), dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut sebagai fungsi.
Fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak bergantung dari siapa yang melakukan, jadi, persona sebagai variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi, yang dikelompokkan ke dalam tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu: penjahat, donor, penolong, putri dan ayahnya, orang yang menyuruh, pahlawan, dan pahlawan palsu.


2.    Claude Levi-Strauss
Pendekatan yang hampir sama dengan Vladimir Propp dilakukan oleh Claude Levi-Strauss, seorang antropolog. Meskipun demikian, menurut Scholes (1977:59-70; cf. Junus, 1988:64-65) keduanya tetap berbeda. Pertama, apabila Propp memberikan perhatian pada cerita, Levi-Strauss lebih banyak memberikan perhatian pada mitos. Kedua, apabila Propp menilai cerita sebagai kualitas estetis, Levi-Strauss menilainya dengan kualitas logis. Ketiga, apabila Propp menggunakan konsep fungsi sebagai istilah kunci, atas dasar asumsi linguistik seperti phone dan phoneme, Levi-Strauss mengembangkan istilah myth dan mytheme. Keempat, berbeda dengan Propp yang memberikan perhatian pada naratif individual, Levi-Strauss memberikan perhatian terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentaris. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu.
Levi-Strauss menggali gejala di balik material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah termodifikasikan, dan harus dikonstruksi melaluinya. Seorang antropolog dengan demikian harus menemukan struktur bawah sadar yang menggarisbawahi setiap institusi. Myteme yang mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali, sehingga ditemukan makna karya sesungguhnya.
Sebagai seorang strukturalis, menurut Ino Rossi (1974:90), konsep Levi-Strauss sering disalahtafsirkan. Menurut Levi-Strauss, sebagaimana dinyatakan dalam bukunya yang terkenal Structural Antropology, struktur bukanlah representasi atau substitusi realitas. Struktur dengan demikian adalah realitas empiris itu sendiri, yang tampil sebagai organisasi logis, yang disebut sebagai isi. Hubungannya dengan Saussure, jakobson, dan Trubetzkoy tahun 1950-an memperdalam analisis antropologi dengan model linguistik, dengan konsep dasar perbedaan dan hubungan, bagaimana unsur-unsur dari suatu sistem dapat berhubungan, di antaranya metode segitiga kuliner diterapkan dalam analisis mengenai makanan, yaitu makanan mentah, makanan yang dimasak, dan makanan fermentasi.
3.    Tzvetan Todorov
Tzvetan Todorov (Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977:69-70), yang dipengaruhi oleh Propp, Levi-Strauss, dan formalisme Rusia, di samping memperjelas perbedaan antara fabula dan sjuzet, juga mengembangkan konsep histoire dan discours, yang sejajar denga fabula dan sjuzet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu kehendak, komunikasi, dan partisipan. Menurutnya, semua sistem relasi berasal dari ketiga dimensi ini. menurutnya, objek forma puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan (literariness), yang terkandung dalam wacana. Dalam menganalisis mesti mempertimbangkan tiga aspek, yaitu (1) aspek sintaksi, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis; (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar; dan (3) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.
Konsep Todorov (1985:11-15) yang lain adalah in praesentia dan in absentia, dalam linguistik disejajarkan dengan sintagmatik dan paradigmatik, atau sintaksis dengan semantik. Konsep pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi, sedangkan konsep yang kedua menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya antara hubungan adalah kausalitas. Todorov membedakan antara sastra sebagai ilmu mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin lain, sastra sebagai projeksi, seperti psikologi sastra, sosiologi sastra, studi biografis, kritik fenomenologis, termasuk komentar, resensi, dan sebagainya.
4.    Algirdas Julien Greimas
Naratologi Greimas (Selden, 1986: 59-60; Culler, 1977:77-87) merupakan kombinasi antara model paradigmatis Levi-Strauss dengan model sintagmatis Propp. Dibandingkan dengan penelitian Propp, objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam, dengan tujuan yang lebih umum, yaitu tata bahasa naratif universal. Dengan menolak aturan, dikotomi yang kaku sebagaimana dipahami strukturalisme awal, Greimas pada gilirannya lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana, yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan, yang disebut actans dan acteurs. Menurut Rimon-Kenan (1983:34-35) baik actans maupun acteurs dapat berarti suatu tindakan, tetapi tidak selalu harus merupakan manusia, melainkan juga nonmanusia.
Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif, yang dibedakan menjadi tiga oposisi biner, actuers merupakan kategori umum. Dalam kalimat ‘John dan Paul memberikan apel kepada Mary’, John dan Paul adalah dua actuers, tetapi satau actans. John dan Paul juga merupakan pengirim, Mary adalah penerima, sedangkan apel adalah objeknya. Dalam kalimat ‘John membelikan dirinya sendiri sebuah baju’, John adalah satu actuers yang berfungsi sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun sebagai penerima. Kemampuan Greimas dalam mengungkapkan struktur actans dan acteurs menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam menganalisis teks satra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya.
5.    Shlomith Rimmon-Kenan
Rimmon-Kenan (1983:1-5) juga menjelaskan bahwa wacana naratif meliputi keseluruhan kehidupan manusia. Meskipun demikian hanya mencurahkan perhatiannya pada wacana naratif fiksi. Oleh karena itulah, ia mendefinisikan fiksi naratif sebagai peristiwa fiksional. Berbeda dengan narasi lain, seperti film, tarian, dan pantomim, narasi fiksi dengan demikian memasyarakatkan: (1) proses komunikasi, proses naratifsebagai pesan yang ditranmisikanoleh pengirim kepada penerima, dan (2) struktur verbal mediu, yang digunakan untuk mentransmisikan pesan. Atas dasar pemahaman Genette, Rimmon-Kenan membedakan menjadi story, text, dan narration.
Story menunjukkan pada peristiwa-peristiwa, yang diabstrakan dari disposisinya dalam teks dan direkonstruksikan dalam orde kronologisnya, bersama-sama dengan partisipan dalam peristiwa tersebut. Apabila story merupakan urutan kejadian, text adalah wacana yang diucapkan atau ditulis, apa yang dibaca. Narration  adalah tindak atau proses produksi, yamg mengimplikasikan seseorang, baik sebagai fakta maupun fiksi yang mengucapkan atau menulis wacana. Dalam fiksi disebut narrator.

BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
1.    Antarhubungan merupakan sistem jaringan yang mengikat serta memberikan makna pada gejala-gejala yang ada. Kesalahpahaman mengenai fungsi-fungsi antarhubungan menyebabkan peneliti hanya meneliti satu di antara unsur tertentu yang berarti memperkosa hakikat suatu totalitas.
2.      Teori formalisme lahir karena tiga faktor, yaitu sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, karena kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, dan karena penolakan terhadap pendekatan tradisional.
3.      Secara etimologis struktur berasal dari kata structura yang berarti bentuk atau bangunan. Strukturalisme dinamika dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang secara definitif memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya.
4.     
25
Semiotika berasal dari kata seme, yang berarti penafsir tanda. Pengkajian mengenai tanda dilakukan sepanjang abad, tetapi pengkajian secara benar-benar ilmiah baru dilakukan awal abad ke-20. Ferdinand de Saussure menggunakan istilah semiologi (sebagai mazhab Eropah Kontinental), sedangkan Pierce menggunakan istilah semiotika (sebagai mazhab Amerika, mazhab Anglo Sakson). Dalam perkembangan berikut, istilah semiotikalah yang lebih popular.
5.      Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni. Strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya.
6.      Naratologi berasal dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya, yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan. Analisis naratif merupakan bagian ideologi, atau sebaliknya.
B.  Saran
Makalah ini merupakan satu di antara literatur mengenai teori-teori strukturalisme sehingga dapat dijadikan acuan untuk menambah pengetahuan mengenai perkembangan teori strukturalisme. Meskipun demikian, segala informasi yang terdapat dalam makalah ini tidak dapat dijadikan referensi utama. Pembaca dapat mencari referensi lain yang di dalamnya juga mencakup teori-teori strukturalisme sehingga pengetahuan pembaca menjadi lebih variatif dan lengkap.





DAFTAR PUSTAKA


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Angkatan Reformasi dan 2000-an

Pendekatan Pragmatik

Sastra Angkatan '66