Surah Al-‘Alaq



Surah Al-‘Alaq

    Surah Al-‘Alaq (bahasa Arab:العلق, "Segumpal Darah") adalah surah ke-96 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri atas 19 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Ayat 1 sampai dengan 5 dari surah ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang pertama diturunkan, yaitu di waktu Nabi Muhammad bertafakur di gua Hira. Surah ini dinamai Al 'Alaq (segumpal darah), diambil dari perkataan Alaq yang terdapat pada ayat 2 surat ini. Surat ini dinamai juga dengan Iqra atau Al Qalam
.
Perintah membaca lingkungan alam semesta untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan; tersurat dalam Surat Al alaq: manusia dijadikan dari segumpal darah; Allah menjadikan kalam sebagai alat mengembangkan pengetahuan;Janganlah manusia bertindak melampaui batas karena merasa dirinya serba cukup; ancaman Allah terhadap orang-orang kafir yang menghalang-halangi kaum muslimin melaksanakan perintah-Nya.
Surat Al 'Alaq menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia dari benda yang hina kemudian memuliakannya dengan mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan. Tetapi manusia tidak ingat lagi akan asalnya, karena itu dia tidak mensyukuri nikmat Allah itu, bahkan dia bertindak melampaui batas karena melihat dirinya telah merasa serba cukup.
Surah Al-‘Alaq yang ayatnya diawali dengan bacaan Iqra’yang artinya bacalah. Iqra kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Kata ini sedemikian pentingnya sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Mungkin mengherankan bahwa perintah tersebut ditujukan pertama kali kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya Al-Qur’an (QS 29: 48), bahkan seorang yang tidak pandai membaca suatu tulisan sampai akhir hayatnya. Namun keheranan ini akan sirna jika disadari arti Iqra’ dan disadari pula bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada pribadi Muhammad saw. semata-mata, tetapi juga untuk umat manusia sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan akhirat.
Namun kata Iqra itu buka saja artinya membaca saja akan tetapi artinya beraneka ragam diantaranya dengan Tujuh M :
1.      Membaca : Maksudnya dari membaca adalah Allah memberikan petunjuk berupa al-Qur’an  untuk senantiasa dibaca setiap saat. Karena al-Qur’an berbeda dengan Koran, kalau Qur’an bagi yang membaca huruf demi hurufnya adalah ibadah dan berpahala. Sehingga dijadikan oleh Allah sebagai sumber hukum umat Islam. Apalagi dibulan Ramadhan pahalanya dlipatgandakan. Adapun Koran hanya sekedar informasi dan wawasan bukan sebagai sumber hukum.
2.    Menterjemah: setelah kita baca al-Qur’an mungkin bagi yang membacanya belum tahu maksudnya, karena banyak umat Islam yang belum bisa bahasa Arab, karena mungkin kesulitan untuk memmpelajarinya. Namun saat ini sudah banyak Al-Qur’an yang sudah ada terjemahannya. Oleh karena itu untuk mempermudah memahami isinya yaitu dengan diterjemahkan  sehingga kita akan mampu meresapi isi-isinya.
3.    Meneliti : Semakin mendalam setelah kita baca dan sedikit demi sedikit kita terjemahkan kita teliti ayat-demi ayat. Coba kita lihat ayat dalam al-Qur’an begitu  indah dan puitis, dengan akhiran yang sama.
Orang ahli sastra manapun tidak akan mampu menandinginya. Untuk itu kita harus meneliti betul-betul dengan meneliti ini kita akan menemukan ketakjuban/keistimewaan al-Qur’an.
4.    Mengkaji : Kajilah al-Qur’an setiap waktu dengan para ahli Qur’an atau orang-orang yang sholih, sehingga memudahkan kita untuk menghayatinya.
5.      Menghayati : Dalam membaca al- Qur’an tentunya kita harus mengayati dengan fikiran yang bersih dan hati yang dalam, sehingga kalau ada orang yang membaca Al-Qur’an hati kita akan terasa gemetar dan merasa dekat dengan Allah.
6.      Memahami : sedikit-demi sedikit Qur’an kita baca, terjemah,  terliti dan kita kaji maka kita akan memahami makna dan tujuan ayat demi ayat seperti sebab ayat ini diturunkan, dan perintah ayat ini untuk apa diturunkan, dan sebagainya.
7.      Mengamalkan : Dengan keenam tersebut di atas maka akan ada dorongan hati kita untuk mengamalkan perintah yang Allah turunkan kepada kita tanpa ada paksaan apapun. Oleh karena itu mari kita pelajari isi kandungan al-Qur’an ini sehingga kita mampu mengaplikasikan petunjuk yang Allah berikan kepada kita selaku umat muslim dan kita akan mendapat predikat orang-orang yang bertaqwa.

Tafsir Surah al-`Alaq 96 Ayat 1-5


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ *
Terjemahan:
[96: 1] Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

[96: 2] Dia menciptakan manusia dari segumpal darah beku;

[96: 3] Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah;

[96: 4] Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan;

[96: 5] Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.

Sebab Nuzul

            Terdahulu dikemukakan hadits tentang permulaan turunnya wahyu yang diriwayatkan daripada `A’isyah ra. Riwayat itu antara lain menjelaskan:
 Ketika Nabi saw sedang beribadat di dalam gua Hira` Malaikat Jibril turun mendapati Nabi saw, lalu memeluk dan menyuruh Nabi saw supaya membaca, tetapi Nabi saw menyatakan: “Aku tidak pandai membaca”. Kemudian dipeluknya lagi dengan kuat sambil menyuruhnya supaya membaca, tetapi Nabi tetap menyatakan perkara yang sama. Pada kali ketiga dipeluknya lagi, sambil menyuruh supaya Nabi membaca dengan mengikuti apa yang dibaca Jibril, yaitu dari ayat (1) hingga ayat (5) surah al-`Alaq.

            Riwayat itu menyatakan lagi: Malaikat Jibril kemudian menghilangkan diri, sedangkan Nabi saw berasa sangat penat selepas menerima wahyu sulung itu, lalu dia pulang dan meminta istrinya Khadijah ra menyelimutkannya[1].
Kita Membaca Allah Mencipta
 (96:1) Permulaan surah ini, mulai ayat 1 hingga ayat 5 merupakan wahyu pertama diturunkan. Wahyu ini diturunkan ketika Nabi saw sedang menjernihkan jiwanya dengan ibadat, lalu Jibril menyuruhnya supaya membaca. Perintah Jibril ini merupakan bimbingan pertama sebelum memulakan langkah-langkah seterusnya dalam perjalanan da`wah yang baginda dipilih menerajuinya.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ *
 [96: 1] Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

            Sayyid Qutb tatkala mengulas ayat ini menyatakan: Bagian pertama surah ini meletakkan batu asas dalam konteks keimanan yang luas yaitu setiap urusan, gerak-gerik, langkah dan tindakan hendaklah dimulakan dengan menyebut nama Allah kerana Dialah yang mencipta dan Dialah juga yang mengajar. Dari Allah berasalnya semua kejadian dan kepada-Nya dikembalikan semula ciptaan-Nya[2].
            Kalimat “إقْرَأ” ialah fi`l, maf`ulnya ditiadakan kerana dipercayai pembaca yang pintar dapat menzahirkannya. Justeru para ilmuwan tidak membiarkan peluang ini tanpa ikut serta dalam perkongsian pendapat bagi menzahirkan maf`ul yang ditiadakan itu, lalu sebahagian mereka berpendapat kalimah yang ditiadakan itu ialah al-Qur`an. Oleh itu ungkapan selengkapnya:

إقْرَأْ الْقُرْآنَ بِاسْمِ رَبِّكَ
Terjemahan: “Bacalah al-Qur`an dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”.

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil menunjukkan basmalah satu juzuk daripada setiap surah al-Qur`an, manakala “ بأ pula membawa makna mulabasah (penyertaan). Sebagian yang lain berpendapat “ بأ di sini za`idah, artinya tidak membawa apa-apa makna. Pendapat kedua ini tidak sesuai kerana membawa arti yang sama dengan ungkapan:
اذْكُرْ اسْمَ رَبِّكَ
Terjemahan: “Sebutlah nama Tuhanmu”

Ayat pertama ini membuat penekanan terhadap pembacaan hendaklah menjurus kepada menyebut nama Rabb, bukan nama Allah. Kita sedia maklum, Rabb membawa arti mendidik, memelihara dan mentadbir. Justru, bagi memantapkan rububiyyah Allah, berikutnya disusuli dengan kenyataan الَّذِي خَلَقَ artinya Tuhan yang mencipta. Tuhan Yang Mencipta dengan sendirinya mentadbir ciptaan-Nya. Ini karena dalil yang menunjukkan rububiyyah Allah ialah sifat khaliqiyyah-Nya (Pencipta) atau dengan kata lain, Allah Yang mentadbirkan alam ini, dengan sendirinya Penciptanya[3].

Hubungan di antara Pentadbir dan Pencipta, boleh difahami dengan lebih jelas lagi, apabila Musyrikin Arab mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, tetapi pada masa yang sama mereka menyerahkan rububiyah atau pentadbiran langit dan bumi kepada berhala yang mereka puja. Andainya mereka mengakui langit, bumi dan seluruh alam ini ditadbir oleh Allah, maka pengakuan itu merupakan sebaik-baik bukti yang menunjukkan pengakuan mereka adalah benar[4].

Bacaan yang diperintah Malaikat Jibril supaya Nabi membacanya bukan sebarang bacaan, tetapi bacalah dengan menyebut nama Allah. Di sini, bermulalah dengan rasminya penurunan al-Qur`an kepada Nabi Muhammad saw dan pelantikannya sebagai Rasul.

Wahyu sulung yang menyuruh agar Nabi membacanya, menunjukkan pembinaan manusia yang diwahyukan kepada Nabi saw adalah berasaskan ilmu pengetahuan melalui jalan pembacaan. Tidak dinafikan fenomena menulis dan membaca wujud sejak beratus tahun sebelum kelahiran Islam lagi, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan hanya lancer sejurus selepas kebangkitan Islam.

Ribuan jilid kitab-kitab Islam dalam pelbagai bidang ilmu yang merujuk maklumatnya kepada al-Qur`an adalah satu mukjizat yang sangat menakjubkan dan sekaligus membuktikan agama ini adalah agama yang berasaskan tulisan dan bacaan, walaupun kemudahan alat-alat tulis amat terhad pada beberapa abad pertama, namun sumbangan umat Islam dalam bidang ini tidak wajar diperkecilkan.

Kesan pembacaan yang dihasilkan menerusi pena dan tulisan, lebih berpengaruh dari suara yang didengar kerana bacaan mewujudkan intraksi antara pembaca dan bahan yang dibaca, lain halnya dengan suara yang hanya didengar, tidak semestinya wujud secara fizikal bahan yang didengar. Mungkin nama al-Qur`an yang bererti baca itu membawa erti supaya ia dibaca bukan hanya didengar atau disimpan semata-mata tanpa dibaca.

Pembacaan yang disuruh dengan menyebut nama Allah dengan sendirinya menentukan matlamat dan hala tuju pembacaan, ia tidak dibaca untuk memperdengarkan suaranya yang merdu, tidak dibaca untuk dipergunakan oleh manusia yang melampaui batas-batas iman, malah pembacaan adalah untuk menjernihkan hati dan menyeru orang ramai kepada jalan hidayat yang diredai Allah.

Apabila ilmu dikuasai melalui baca, maka sesiapa yang tidak membaca seolah-olah pintu ilmunya tertutup. Kalangan ilmuwan yang banyak membaca seharusnya menjadi rujukan kepada semua peringkat usia dalam masyarakat dan seharusnya nilai-nilai ilmu hendaklah dijadikan ukuran bagi mencapai sesuatu penganugrahan.

Membaca adalah Suatu Kewajiban

 Wahyu “Iqra`” merupakan amanah sulung dalam perutusan Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umat manusia yang rata-rata pada ketika itu tenggelam di dalam lumpur syirik, kejahilan dan khurafat. Amanah ini merupakan tonggak kepada tamadun Islam yang bakal ditegakkan di muka bumi ini melalui syariat Islam pimpinan Nabi Muhammad saw yang berasaskan ilmu yang diisyaratkan dengan perintah membaca dan menulis.

            Wahyu ini dengan jelas menjadikan ilmu sebagai asas yang disimbolkan dengan membaca dan menulis dengan pena, tetapi kepada siapa ia dikhitabkan?. Umum Mufassirin menjawab, ia dikhitabkan kepada Nabi saw ketika baginda sedang beribadat di dalam gua Hira`, mereka mengaitkan hubungan munasabah di antara ayat pertama itu dengan hadith Jibril yang menyuruh beberapa kali supaya Nabi membaca, sambil memeluknya dengan kuat hinggalah dia menghilangkan dirinya dari pandangan Nabi saw.

 Tidak ramai Mufassirin mengulas ayat ini sebagai salah satu daripada ayat hukum, meskipun perintah membaca itu jelas menunjukkan wajib membaca bagi menyempurnakan tuntutan agama seperti juga dengan perintah-perintah menegakkan kebenaran, keadilan, menyempurnakan janji dan lain-lain. Kewajipan ini bukan sahaja ditujukan kepada Nabi saw, malah meliputi seluruh umatnya. Ini kerana tiada dalil menunjukkan perintah ini khusus kepada Nabi saw sedangkan umatnya dikecualikan.

            Banyak ayat al-Qur`an difahami dengan jelas sama ada daripada kenyataan siyaq atau sebab nuzul sesuatu ayat. Jika ayat dikhususkan kepada Nabi saw tanpa umatnya, nescaya didapati firman-Nya dikhitabkan kepada Nabi dengan jelas, misalnya:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ * قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا*[5]
Terjemahan: Wahai orang yang berselimut!. Bangunlah sembahyang tahajjud pada waktu malam, selain dari sedikit masa”
Firman Allah lagi:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آَتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ [6]
Terjemahan:Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah halalkan bagimu isteri-isterimu yang engkau berikan maskahwinnya, dan hamba-hamba perempuan yang engkau miliki dari apa yang telah dikurniakan Allah kepadamu sebagai tawanan perang”.

Umum sedia maklum, salat tahajjud diwajibkan ke atas Nabi, tetapi umatnya dikecualikan dari hukum itu, hanya disunatkan sahaja sebagai mu`akkad. Demikian juga diharuskan Nabi mengahwini wanita tanpa dihadkan dengan bilangan tertentu[7], tertakluk kepada syarat memenuhi maskahwin sebagaimana dinyatakan di dalam ayat. Jika ayat dikhitabkan kepada Nabi saw dan umatnya, nescaya disebutkan dengan jelas, misalnya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا[8]
Terjemahan: “Wahai Nabi, suruhlah isteri-isterimu dan anak-anak perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman, supaya melabuhkan pakaian mereka bagi menutup seluruh tubuh mereka (semasa keluar), cara yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenali dan kerana itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”.

Ayat yang memerintah supaya wanita melabuhkan pakaian mereka ditujukan kepada umum, justeru disebutkan semua pihak yang terlibat dengan hukum ini, iaitu isteri-isteri Nabi, puteri-puteri Nabi dan seluruh wanita Islam supaya melabuhkan pakaian mereka, bagi mengelakkan mereka itu dikenali orang dengan mudah, akibatnya mereka dibimbangi terjebak ke dalam jerat syaitan.

Ayat (1) al-`Alaq ini tiada dalil menunjukkan perintah membaca itu khusus kepada Nabi saw. Oleh itu, kewajipan ini meliputi seluruh umatnya tanpa kecuali sama ada lelaki atau perempuan. Mereka diwajib menunaikan kewajipan membaca yang menjuruskan kepada keredaan Allah, terutama al-Qur`an, hadith dan kitab-kitab agama pada setiap hari. Tafsir ini bersetuju dengan pendapat Fuqaha yang menggariskan kaedah usul berikut:
الاَمْرُ فِي الْقُرْآنِ لِلْوُجُوبِ إلاَّ أن تَصْرِفَهُ عَنْهُ قَرِيَنَةٌ إلَى الاسْتِحْبَابِ أو الإبَاحَةِ.
Terjemahan: “Perintah di dalam al-Qur`an menunjukkan hukum wajib, kecuali jika ada sebab yang memalingkannya kepada istihbab atau ibahah”.

Ayat 1 hingga 5 al-`Alaq menggariskan dua panduan bagi memenuhi tuntutan kewajipan membaca:

Pertama: Hendaklah pembacaan itu disempurnakan dengan nama Allah. Pembaca tidak harus membaca bahan-bahan yang dilarang Allah seperti bahan-bahan lucah, berita-berita yang membawa fitnah dan sebagainya kerana bahan-bahan ini menjauhkan manusia dari Allah, firman Allah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ[9]
Terjemahan: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

Kedua: Pembacaan atau perolehan ilmu, terutama yang duhasilkan melalui pembacaan tidak seharusnya dijadikan laluan bagi menonjolkan diri, sombong dan takbur, sebaliknya hendaklah diterima dengan bersyukur kepada Allah yang memberi ilmu, firman-Nya:

اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ[10]
Terjemahan: “Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan; Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Ketiadaan pendapat Fuqaha yang mewajikan manusia membaca tidak berbangkit di sini kerana ketiadaan dalil bukan dalil pada hakiatnya. Beberapa abad yang lalu nasib kaum wanita lebih buruk berbanding kaum lelaki kerana adanya pihak yang mereka-rekakan riwayat melarang para ibu bapa mengajar anak-anak perempuan mereka menulis. Antara riwayat:

لا تنزِلُوهُنَّ الْغُرَفَ وَلا تُعَلِّمُوهُنَّ الْكِتَابَةَ يَعْنِى النِّسَاءَ وَعَلِّمُوهُنَّ الْمِغْزَلَ وَسُورَةَ النُّورِ[11]
Terjemahan: “Jangan kamu tempatkan mereka (wanita) di dalam bilik-bilik di tingkat atas, jangan ajar mereka menulis, ajarkan mereka memintal benang dan surah al-Nur”

Muhaddithin menyatakan hadith ini palsu, di dalam sanadnya didapati seorang periwayat bernama Muhammad ibn Ibrahim al-Shami, beliau terkenal dengan pamalsu hadith[12]. Ibn al-Jawzi, al-Daraqutni, Ibn Hajar dan lain-lain melaporkan hadith ini sama ada da`if atau maudu`.

Semoga Allah merahmati dan memaafkan penya`ir yang tidak perlu disebutkan namanya kerana tasawwurnya yang kurang tepat terhadap wanita seperti yang di deklamasikan dalam puisinya:

مـا لِلنِّسَاءِ وَلِلْكِتَابَةِ وَالْعُمَالَةِ وَالْخِطَابَة
هَذَا لَنَا وَلَهُنَّ مِنَّا أنْ يَبِتْْنَ عَلَى جَنَابَة
Terjemahan:

Menulis, bekerja dan berbicara bukan kebebasan kaum wanita,
Itu kebebasan kami, hak mereka hanya bermalam bersama kami.

Tasawwur terhadap wanita dan peranannya dalam masyarakat harus dirujuk kepada hadith yang lebih sahih sanad dan matannya, seperti hadith riwayat al-Rubayyi` bint Mu`awwidh ra katanya:
‏‏كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى ‏ ‏الْمَدِينَةِ[13]
Terjemahan: “Kami (keluar berperang) bersama Nabi saw, kami mengagih minuman, kami merawat orang-orang tercedera dan kami bertugas menghantar pulang orang-orang yang terbunuh ke Madinah”.

Di dalam hadith menyatakan lagi:
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ[14]
Terjemahan: Sesungguhnya wanita itu teman lelaki.

Hadith ini dan yang sebelumnya jelas menyatakan bidang tugas kaum wanita yang dibenarkan oleh Islam. Mereka diharuskan keluar ke tempat-tempat belajar, ke masjid, ke pasar dan tempat-tempat yang diperlukan dengan persetujuan wali atau suami mereka. Hukum ini sangat wajar kerana wanita itu ialah ibu kita, isteri kita, anak-anak perempuan kita dan sanak saudara kita yang bukan lelaki.

 (96: 2) Sebahagian manusia ada yang disifatkan dengan sebaik-baik ciptaan. Daripada bahan apakah manusia ini?

خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ *

 [96: 2] Dia menciptakan manusia dari segumpal darah beku;

Allah menciptakan manusia dari `alaq atau segumpal darah beku yang bergantung di jidar rahim. Sebelumnya Dia menjadikan darah itu daripada air mani yang jijik, kemudian dimuliakannya sehingga dilebihkan atas banyak makhluknya yang lain. Aneh sungguh peralihan demi peralihan yang berlaku pada makhluk yang bernama manusia ini, asalnya daripada air mani yang jijik berpindah kepada segumpal darah beku kemudian menjadi manusia yang sempurna akal dan dapat berjalan atas dua kaki.

Pengetahuan yang sedikit sahaja tentang manusia sudah cukup untuk memahami keajaiban makhluk manusia kerana selepas beberapa peralihan pada kejadian manusia, terbinalah kemudiannya sebuah tamadun Islam yang berasaskan tulisan dan bacaan dengan nama Allah.

Mungkin bagi tujuan pembinaan tamadun yang berasaskan ilmu, maka ayat-ayat pertama dari surah ini manyuruh Nabi membaca dengan nama Allah yang menciptakan manusia daripada segumpal darah beku.

 (96: 3) Sila perhatikan dengan lebih fokus kepada bacaan, bagaimana Allah mengajar manusia menulis dan membaca, kemudian memindahkan maklumat yang ditulis dan dibaca daripada generasi kepada generasi, umat kepada umat, hingga bertimbun-timbun maklumat bagaikan ledakan air banjir yang menuju salurannya, kadang-kadang saluran melimpah disebabkan air banjir yang lebih besar dari saluran.

اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ *

 [96: 3] Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah;

Nabi sekali lagi diperintah membaca. Mufassirin berpendapat, pembacaan kedua ini berbeza dengan pembacaan pertama. Pembacaan kedua ditujukan kepada orang ramai, sedangkan pembacaan pertama hanya Nabi sahaja. Ada yang berpendapat kedua-dua perintah ini ditujukan kepada Nabi saw. Perintah itu diulangi bagi maksud memperkukuhkan perintah membaca. Pendapat kedua ini lebih mantap kerana tiada dalil menunjukkan ada perbezaan di antara dua perintah membaca.

Ayat ini bagaikan reaksi positif terhadap Nabi saw tatkala dia menjawab “saya tidak pandai membaca” kepada Jibril yang menyuruhnya supaya baca. Ayat bagaikan menolak jawapan Nabi dengan kata-kata:
إنكَ قَادِرٌ عَلَى الْقِرَاءَةِ لِأنَّ اللهَ هُوَ الرَّبُّ الأَكْرَمُ

Terjemahan: “Engkau sebenarnya boleh membaca kerana Allah Tuhan yang melimpah-limpah kurniaan-Nya”.

Allah sangat Pemurah. Oleh itu, bacalah dengan nama Allah yang amat pemurah, anda akan mendapati anugrah daripada kemurahan-Nya. Mana-mana sifat yang terpuji pada manusia adalah datang daripada kemurahan Allah; Dia yang memberi kepada manusia, Dia juga Yang Maha Tinggi dan tiada siapa lebih tinggi daripada-Nya.

Ayat ini merangsang manusia supaya membaca, Allah berjanji untuk meberi pulangan yang sebaik-baiknya kepada mereka yang membaca dengan namanya.. Dalam ungkapan harian, kita diperintah menyebut segala puji bagi Allah setelah selesai merasai sesuatu ni`mat. Ucapan ini sangat sesuai kerana Allah Maha Pemberi rezeki dan Dia yang menganugrahkan ni`mat itu keada manusia. Ucapan yang sama juga sesuai dengan orang yang bersabar tatkala menghadapi ujian yang berupa mala petaka kerana Allah Maha Pemberi, Dia menimpakan ujian ke atas hamba-Nya dan Dia juga yang menyelamatkan. Atas pengertian ini kita boleh faham ayat di atas yang membawa terjemahan: Bacalah dengan nama Tuhan yang mendidik, kita akan menerima hasil didikan-Nya yang sangat istimewa.

Coba anda tenangkan fikiran sejenak dan bertanya diri anda sendiri: Bagaimana jika manusia tidak pandai menulis dan membaca, bolehkah tamadun manusia ini dibina begini rupa? Tidakkah manusia akan hidup tidak lebih maju dari spesies monyet dan kera kerana tidak pandai menulis dan membaca.

Sungguh agung nikmat anugrah Allah kepada kita, tetapi sayang semakin banyak nikmat diterima manusia, semakin bertamabah pula kekufuran dan kesombongan. Bagi maksud supaya manusia tidak menjadikan ilmu sebagai jalan menyombongkan diri, menindas dan merosak, Allah mengingatkan mereka kepada satu kenyataan iaitu biarpun manusia mencapai tahap kemajuan yang tinggi, cemerlang dalam akademik, berkedudukan tinggi dalam masyarakat, namun dia tidak harus lupakan Allah, dia hendaklah bersyukur kepada-Nya. Bukankah Allah yang mengajarnya dengan pena? Bukankah manusia dahulunya tidak mengetahui apa-apa dan tidak akan mengetahui jika tidak diajar Allah kepadanya.

 Pena Itu Mulia Jangan Disalah Gunakan.

 (96: 4) Antara tanda kemurahan Allah ialah mengajar manusia melalui pena. Pena hanya alat untuk mengajar manusia menulis dan membaca.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ*

 [96: 4] Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan;

Pena begitu murah harganya, ia boleh dibuat daripada ranting kayu, bahkan barang-barang buangan, tetapi aneh melaluinya ilmu dan makrifat boleh disebar luaskan, dengannya pintu ilmu dan pengetahuan boleh dibuka. Inilah pena yang telah meninggalkan hasilnya yang mencelikkan mata generasi demi generasi. Inilah pena yang mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya, lalu dipelajari dikaji dan diteliti oleh generasi umat yang datang silih berganti.

Rasulullah saw Dalam sebuah hadith menyatakan beberapa dalil kecil sebagai tanda hampir kedatangan Kiamat, antaranya ialah kemunculan pena-pena fitnah, sabda Nabi:

إَنَّ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ .. ظُهُورُ الْقَلَمِ[15]

Terjemahan: “Sesungguhnya sebelum Kiamat (akan berlaku) kemunculan pena”

Pena mempunyai banyak ertinya. Maksudnya di sini ialah pena upahan yang tidak menulis dengan benar, pena yang menyebar fitnah dan suka meniupkan api permusuhan.

Pena ini meskipun kecil matanya, tetapi kepalanya besar, peranannya sangat berbahaya kepada manusia jika disalah gunakan. Kata penya`ir:

متحَذْلِقٌ يَقِظٌ فَإنْ أرْسَلْتَهُ *** أجْرَى لُعَابَ رَحِيقِهِ مِنْ صَدْرِهِ
بَتَّارُ أعْنَاقِ الأنَامِ بِلَفْظِهِ *** سَلاَّبُ أفْئِدَةِ الْمُلُوكِ بســحْرِهِ

Terjemahan:

Andainya anda bebaskan pena yang pintar dan bijaksana,
Mengalirlah air mulut gula-gula di dadanya,
Pena dengan kata-katanya bagaikan pisau pemotong leher manusia,
Pena sedia menawan hati para raja dengan kemanisan bahasa.

Manusia adalah makhluk yang maju dan sentiasa mara ke hadapan dengan warisan yang ditinggal oleh ribuan generasi yang telah pergi, mereka meninggalkan hasil fikiran mereka yang masih hidup meskipun badan mereka telah hancur.

 (96: 5) Biarpun manusia sudah berilmu dan tinggi melangit ilmunya, mereka tidak harus lupakan zaman silam, mereka jahil dan tidak mengerti apa-apa sebelum ini. Mereka berpengetahuan setelah melalui proses pencelikan huruf, kemudian maju setapak demi setapak. Siapakah yang mengajar mereka ilmu dan membasmi kejahilan yang menutup hati dan fikiran mereka?
عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ *

 [96: 5] Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ayat-ayat (4) dan (5) ini menambahkan lagi jawapan balas kepada Nabi yang mengaku tidak pandai membaca dengan mengemukakan dua hujah:

Pertama: Allah mengajar manusia dengan pena,

Kedua:Allah mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.

Pembelajaran manusia dengan qalam (pena) membawa dua erti: Pertama, melatih mereka kemahiran menulis dan keupayaan mencatat sejarah manusia, pengetahuan, budaya dan tamadun mereka. Kedua, mengajar mereka semua pengetahuan melalui qalam (pena) dan tulisan. Apa pun erti pengajaran dengan qalam di sini dianggap besar signifikannya dalam pembentukan tamadun dan budaya hidup manusia.

Manusia kini mengetahui sesuatu, pada hal sebelumnya mereka tidak mengetahui apa-apa. Dengan itu mereka perlu bersyukur dan bersikap merendahkan diri mereka kepada Allah yang memberi ilmu kepada mereka, mereka tidak harus sombong dengan ilmunya, kerana ilmu adalah lautan yang tidak bertepi, permukaannya luas, dasranya sangatlah dalam, tiada manusia pernah menjejaki darsarannya. Maha suci Allah yang berfirman:

وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً [16]
Terjemahan: Dan kamu tidak diberikan ilmu pengetahuan, melainkan sedikit sahaja.
Ilmuwan harus tawadu` dengan sedikit ilmu yang ada, kerana tiada manusia yang tahu semua perkara, dia mungkin mengetahui tentang satu perkara tetapi tidak mengetahui banyak perkara, dia mengetahui kejadian hari ini, tetapi tidak mengetahui kejadian pada hari esok. Dia mengetahui yang zahir, tetapi tidak mengetahui yang tersembunyi. Dia mengetahui yang kini, tetapi tidak mengetahui yang akan terjadi.

Pengajaran dan Saranan

1: Menjelaskan kedudukan wahyu Ilahi dan membuktikan kenabian Nabi Muhammad saw.
2: Dikehendaki membaca basmalah sebelum me,baca al-Qur`an. Justeru, semua surah kecuali surah al-Tawbah hendaklah dimulai dengan membaca basmalah.
3: Menjelaskan perkembangan nutfah kepada `Alaqah dfan seterunya kepada penciptaan manusia.
4: Menyatakan besarnya peranan pena dan tulisan dan sumbangannya kepada perkembangan ilmu.
5: Manusia menerima ilmu bermula dengan pendidikan menerusi tlis dan baca.
6: Penciptaan manusia bermula dari segumpal darah, kemudian dari segumpal darah itu diangkat kepada manusia yang mengerti dan berpengetahuan.
7: Peranan pena sangat besar, ia membawa perubahan yang menakjubkan kepadfa manusia, sama ada membina atau meroboh,
8: Allah menonjolkan pena dan hakikat yang tersembunyi di sebaliknya melalui Nabi Muhammad saw yang tidak pandai membaca dan menulis, menjadi bukti yang jelas terhadap kenabiannya. Ini kerana orang yang tidak akan menunjukkan kelemahannya sebagai bukti kebenarannya.


[1] Sila rujuk sebahagian matan hadith di nota kaki 676, 30/1052
[2] Tafsir Fi Zilal al-Qur`an, 17/451.
[3] Fath al-Bayan, 15/309
[4] Pengakuan kaum Musyrikin bahawa Allah sebagai pencipta alam, sama sekalim tidak menunjukkan kesahihan akidah mereka, sehingga mereka mengakui rububiyah-Nya. Sila baca ayat al-`Ankabut: 41 dan bandingkan dengan firman-Nya dalam al-`Ankabut: ayat 62-63.
[5] al-Muzzammil: 1-2.
[6] al-Ahzab: 50
[7] Al-Suyuti, al-Khasa`is al-Nabawiyyah al-Kubra, al-Maktabah al-Qayyimah 2/520.
[8] al-Ahzab: 59
[9] al-`Alaq: 1
[10] al-`Alaq: 3-5
[11] al-Suyuti, Jalal al-Din, Jami` al-Hadith, hadith (16989), 16/357, al-Hakim, 2/430, hadith (3494), katanya: Hadith ini Sahih Isnadnya, al-Tabarani, al-Awsat, 6/34, hadith (5713), al-Albani, al-Silsilah al-Da`ifah wa al-Mawdu`ah, 5/30 daripada `A’ishah ra.
[12] Abd al-Ghaffar Sulaiman (Dr) dan Sayyid Kirwi Hasan, Mawsu`ah Rijal al-Kutub al-Tis`ah, 3/237. Bil.7654.
[13] a-Bukhari, al-Jihad wa al-Siyar: Mudawat al-Nisa` al-Jarha fi al-Ghazw, hadith (2669) daripada al-Rubayyi` binti Mu`awwidh.
[14] Abu Dawud, al-Taharah: Fi al-Rajul Yajid al-Ballah, hadith (204). Al-Tirmighi, al-Taharah, hadith (105) daripada `A’ishah ra. Hadith ini da`if kerana sanadnya melalui Abdullah bin `Umar al-`Adawi, beliau disifatkan sebagai da`if al-hadith.
[15]Musanad Ahmad, hadith (3739) daripada Abdullah Ibn Mas`ud. Hadith ini sahih, sanadnya muttasil dan mengikut syarat Muslim.
[16] al-Isra`: 85






 

Asbabun Nuzul Surah Al-’Alaq

1.      Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
2.      Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.      Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
4.      Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [1590],
[1590] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
5.      Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
7. karena Dia melihat dirinya serba cukup.
8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).
9. bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
10. seorang hamba ketika mengerjakan shalat*,
11. bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran,
12. atau Dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
13. bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?
14. tidaklah Dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?
15. ketahuilah, sungguh jika Dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya**,
16. (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka.
17. Maka Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
18. kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah***,
19. sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).
*   Yang dimaksud dengan orang yang hendak melarang itu ialah Abu Jahal, yang dilarang itu ialah Rasulullah sendiri. akan tetapi usaha ini tidak berhasil karena Abu Jahal melihat sesuatu yang menakutkannya. setelah Rasulullah selesai shalat disampaikan orang berita itu kepada Rasulullah. kemudian Rasulullah mengatakan: “Kalau jadilah Abu Jahal berbuat demikian pasti Dia akan dibinasakan oleh Malaikat”.
**  Maksudnya: memasukkannya ke dalam neraka dengan menarik kepalanya.
***Malaikat Zabaniyah ialah Malaikat yang menyiksa orang-orang yang berdosa di dalam neraka.
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa Abu Jahal pernah berkata, “Apakah Muhammad meletakkan mukanya ke tanah (sujud) di hadapan kamu ?” ketika itu orang membenarkannya. Selanjutnya Abu Jahal berkata: “Demi al-Lata dan al-‘Uzza, sekiranya aku melihat dia sedang berbuat demikian, akan aku injak batang lehernya dan kubenamkan mukanya ke dalam tanah.” Ayat-ayat ini (6-19) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa ketika Rasulullah saw sedang shalat, datanglah Abu Jahal melarang beliau melakukannya. Ayat-ayat 6-19 ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut sebagai ancaman kepada orang yang menghalang-halangi orang yang hendak beribadah.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, menurut at-Tirmidzi hadits ini hasan shahih, bahwa ketika Rasulullah saw sedang shalat, datanglah Abu Jahal seraya berkata: “Bukankah aku sudah melarang engkau berbuat demikian (shalat) ?” Nabi Muhammad saw pun membentaknya. Abu Jahal berkata: “Bukankah engkau tau bahwa di sini tidak ada orang yang lebih banyak pengikutnya daripada aku ?” maka Allah menurunkan ayat-ayat ini (al-‘Alaq 17-19) sebagai ancaman kepada orang yang menghalang-halangi orang yang hendak melakukan ibadah dan merasa banyak pengikut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Angkatan Reformasi dan 2000-an

Pendekatan Pragmatik

Sastra Angkatan '66