Masalah Pendidikan di Indonesia


A.  Masalah Pendidikan di Indonesia
Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).
Salah satu penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia adalah tingginya jumlah anak putus sekolah. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data pendidikan tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
Menurut Staf Ahli Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Marijan, Indonesia mengalami masalah pendidikan yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, mulai dari buruknya infrastruktur hingga kurangnya mutu guru. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, dan kualitas infrastruktur yang belum memadai.
Beberapa masalah pendidikan yang dihadapi Indonesia adalah sebagai berikut.


1.    Rendahnya Kualitas Guru
Guru menduduki posisi tertinggi di dunia pendidikan dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Di sinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi.
Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata. Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.
2.    Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, kemungkinan kesejahteraan guru dan dosen (PNS) menjadi lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
3.    Kualitas Kurikulum yang Belum Standar
Kurikulum pendidikan di Indonesia juga menjadi masalah yang harus diperbaiki. Pasalnya kurikulum di Indonesia hampir setiap tahun mengalami perombakan dan belum adanya standar kurikulum yang digunakan. Tahun 2013 yang akan datang, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan perubahan kurikulum pendidikan nasional untuk menyeimbangkan aspek akademik dan karakter. Kurikulum pendidikan nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013 itu rencananya segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.
Mengingat sering adanya perubahan kurikulum pendidikan akan membuat proses belajar mengajar terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.
4.    Kualitas Infrastruktur yang Belum Memadai
Dari dulu hingga sekarang masalah infrastruktur pendidikan masih menjadi hantu bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya sekolah-sekolah yang belum menerima bantuan untuk perbaikan sedangkan proses perbaikan dan pembangunan sekolah yang rusak atau tidak layak dilakukan secara sporadis sehingga tidak kunjung selesai.
Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas rusak terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 7.652, disusul Sulawesi Tengah 1.186, Lampung 911, Jawa Barat 23.415, Sulawesi Tenggara 2.776, Banten 4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Papua Barat 576, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, dan Sulawesi Barat 898.
5.    Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
6.    Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7.    Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
8.    Mahalnya Biaya Pendidikan
Bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

B.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
Permasalahan pokok pendidikan sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah pembangunan mikro, yaitu masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan sendiri. Masalah mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan, yaitu masalah di luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah mikro pendidikan. Masalah makro ini meliputi masalah perkembangan internasional, masalah demografi, masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta masalah perkembangan regional. Masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan, yaitu:
1.    Perkembangan Iptek Dan Seni
a.    Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta , dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Sebagai contoh hubungan antara pendidikan dan iptek, misalnya sering suatu teknologi baru yang digunakan suatu proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru lantaran perubahan persyaratan kerja, dan mungkin juga penguraian jumlah tenaga kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai pada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana sarana penunjangnya seperti sarana laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu juga membaw masalah dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Contoh di atas memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan. Di samping pengaruh tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru dan gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka, pengadaan guru relatif cepat seperti dengan program diploma, perlindungan terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Hampir setiap inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti membawa hasil. Kedua,  pada dasarnya orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru. Masalahnya ialah bagaimana cara memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip) dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya).
b.    Perkembangan Seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yamg indah. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping domain kognitif yang sudah digarap melalui program /bidang studi yang lain. Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.
2.    Laju Pertumbuhan Penduduk.
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:
a.    Pertambahan Penduduk.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini berarti beban pembangunan nasional menjadi bertambah.
Pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi pergesaran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, permintaan untuk lanjutan keperguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia tua yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non formal.
b.    Penyebaran Penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama di kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu daerah pedalaman khususnya di daerah terpencil yangberlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau. Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam penyediaan sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil untuk melayani kebutuhan akan pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD yang reguler. Belum lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru.

3.    Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya  aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dianggap memberi jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian ditangga sosial.  Gejala yang timbul ialah membanjirnya pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota , di samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan nonformal. Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi penerimaan siswa pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah murid dan siswa perkelas melebihi yang semestinya, jumlah kelas setiap sekolah membengkak , diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi dan sore dengan pengurangan jam belajar, kurang sarana belajar, kekurangan guru, dan seterusnya. Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya . bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik.
4.    Keterbelakangan Budaya Dan Sarana Kehidupan.
Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, apalagi mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Perubahan kebudayaan terjadi karena ada penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material seoerti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi, dan yang bersifat non matreial seperti paham atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena:
a) Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)
b) Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami atau karena dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.
c) Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
a)      Masyarakat daerah terpencil.
b)      Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
c)      Masyarakat yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan serta dalam pembangunanmsebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terbelakang kebudayaanya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.

C.  Solusi Mengatasi Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
a.       solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
b.       Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Selain itu langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut.
1.    Solusi Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak macam  pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk  meningkatkan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara konvesional dan cara inovatif.
Cara konvesional antara lain:
a) Membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b) Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
Cara Inovatif antara lain:
Sistem pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem, sistem tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
a) SD kecil pada daerah terpencil
b) Sistem guru kunjung
c) SMP terbuka
d) Kejar paket A dan B.
e) Belajar jarak jauh, seperti di universitas terbuka.
2.    Solusi Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada perbaikkan kualitas komponen pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut.
Upaya tersebut pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.Upaya pemecahan masalah masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat sebagai fisik dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:
a) Seleksi yanglebih rasional terhadap masukan mentah, khususnay untuk Slta dan PT.
b) Pengembanagn kemanpuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c) Penyempurnaaan kurikulum
d) Pengembanagan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
e) Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f) Peniungkatan adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
g) Kegiatan pengendalian mutu.

3.    Agenda-agenda ke Depan
Memasuki pergantian abad, yaitu dari abad ke-20 ke abad ke-21 yang dikenal dengan milenium ketiga, pendidikan Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan yang berat dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu. Dengan bertolak dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai sebelumnya, pada bagian akhir berikut ini dikemukakan beberapa agenda pembagunan pendidikan di Indonesia untuk saat ini dan masa depan.
Pertama, penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan cara: 1) menambah jumlah gedung sekolah dan ruang kelas baru yang jaraknya semangkin didekatkan dengan tempat tinggal kelompok umur wajib belajar dengan tetap memperhitungkan terjadinya pergeseran demografis, sehingga sebagian besar kelompok umur 13-15 tahun akan terdorong untuk masuk sekolah; 2) memperkuat kelembagaan SLTP swasta sehingga sumbangannya terhadap pencapaiaan sasaran wajib belajar lebih meningkat; 3) memperluas jangkauan SLTP Terbuka melalui pembukaan SLTP-SLTP Terbuka baru dan menambah Tempat Kegiatan Belajar (TKB), SLTP bertipe kecil, dan kejar paket B; serta 4) meningkatkan peranserta masyarakat dan kesadaran orangtua dalam pelaksanaaan wajib belajar.
Kedua, peningkatan daya tampung SLTA (SMU atau SMK) dan perguruan tinggi. Dengan dilaksanakannya wajib belajar 9 tahun, maka jumlah lulusan SLTP akan semangkin meningkat. Hal ini akan menumbuhkan kebutuhan yang lebih besar terhadap tersedianya pendidikan lanjutan ke SLTA, baik SMU maupun SMK. Untuk itu, daya tampung SLTA perlu ditingkatkan melalui pembagunan unit gedung baru dan penambahan ruang kelas baru. Halyang sama berlaku pada perguruan tinggi; daya tampung perguruan tinggi khususnya PTN perlu terus dipacu sehingga APK pendidikan tinggi terus meningkat hingga mencapai di atas 15%  pada dasawarsa pertama tahun 2000. Perluasan kesempatan tersebut tetap harus memperhatikan peningkatan mutu dan relevansi.
Ketiga, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada semua jalur, jenis, jejang, dan satuan pendidikan perlu terus dilanjutkan, mengingat tuntutan sektor-sektor pembangunan dan masyarakat umumnya terhadap pendidikan yang bermutu semangkin besar. Implikasinya ialah metode pengajaran perlu lebih ditingkatkan, peningkatan mutu guru perlu ditangani secara intensif dan akuntabel, dan pengelolaan sumber daya pendidikan yang tersedia dilakukan lebih baik lagi.
Keempat, pemanfaatan sumber daya pendidikan yang jumlahnya terbatas perlu terus dilanjutkan sehingga benar-benar dapat memeberikan hasil yang maksimal terhadap pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, dan peningkatan relevansi. Dalam hal ini, aparat pendidikan di semua tingkatan dituntun untuk selalu “sadar biaya”, yaitu setiap biaya yang dikeluarkan pada akhirnya harus dapat ditagih dalam bentuk hasil yang nyata dan maksimal yang mempunyai sumbangan terhadap  peningkatan kinerja pendidikan nasional.
Kelima, pelaksanaan disentralisasi pendidikan sejalan dengan Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah akan membawa implikasi yang luas ada model dan pola manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang selama ini cenderung sentralistik diubah menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian besar penanganan program-program pendidikan kepada Daerah Tingkat I dan lebih khusus lagi pada Daerah Tingkat II. Agar desentralisasi pendidikan memberikan manfaat bagi pendidikan secara keseluruhan, maka pelaksanaannya perlu dikelola secara sunguh-sungguh, berencana, dan terarah pada tujuan.   

Daftar Pustaka



Abraham. 2012. Problematika Pendidikan di Indonesia. (Online)            (http://abraham4544.wordpress.com/umum/problematika-pendidikan-di      indonesia/,  dikunjungi 19 Oktober 2013).
Batosai, Irvan Jaya Musrida. 2010. Makalah Permasalahan Pendidikan di Indonesia. (Online) (http://van88.wordpress.com/makalah-permasalahan             pendidikan-di-indonesia/, dikunjungi 19 Oktober 2013).
Setiawan, Rendik. 2012. Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya. (Online) (http://positivego.blogspot.com/2012/11/masalah-pendidikan-di       indonesia.html, dikunjungi 19 Oktober 2013).
Wahyudin, H. Dinn, D. Supriadi, Ishak Abdulhak. 2005. Pengantar Pendidikan.    Jakarta: Universitas Terbuka




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Angkatan Reformasi dan 2000-an

Pendekatan Pragmatik

Surah Al-‘Alaq