Sastra Angkatan '66
1.
Latar
Belakang Munculnya Sastra Angkatan ‘66
Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di
segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror
politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66
mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan
melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya
sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal
angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.
Sebelum nama angkatan
‘66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU).
Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun
1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila
dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan
dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak
ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak
tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam
menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.
Istilah
angkatan 66 pertama kali diperkenalkan oleh H.B. Jassin dalam sebuah
karangannya dalam majalah Horison (Agustus
1966), yang bertajuk “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”. Yang termasuk
angkatan 66, menurut H.B. Jassin ialah “mereka yang tak kala tahun 1966 masih
berumur kira-kira 6 tahun dan baru masuk sekolah rakyat, jadi mereka yang tahun
’66 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka inilh yang telah giat menulis dalam
majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya
Indonesia, Konfrontasi, Cerita Prosa, Sastra, Basis, dan lain-lain.
Masih menurut Jassin, “nama-nama seperti Ajib Rosidi,
Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Adangdjaja, Mansur Samin, Saribi
Afn., Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokor
Hutta Suhhut, dan banyak lagi yang lain dapat dicatat sebagai angkatan 66.
Jadi, yang termasuk angkatan 66 ini tidak hanya mereka yang baru menulis
sajak-sajak perlawanan pada permulaan tahun 1966, melainkan juga mereka yang
telah tampil beberapa tahun sebelumnya dengan suatu kesadaran”. Itulah tentang
angkatan 66, walaupun mengundang beberapa pendapat yang pro dan kontra, tentang
ada tidaknya angkatan 66 ini. Namun, sebagai peristiwa sastra patut dicatat
sebagai peristiwa sejarah sastra Indonesia.
2.
Ciri-ciri
Angkatan ’66
Karya sastra masa 60-an dapat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama masa antara tahun
60-sebelum 66, dan kelompok kedua tahun 60-70. Pada kurun masa pertama
(60-sebelum 66), merupakan masa kejayaan para pengarang Lekra yang bernaung
dibawah panji-panji PKI. Pada masa ini pengarang yang tidak tergabung di dalam
Lekra kurang berkembang kreativitasnya karena manifes kebudayaan yang menjadi
konsepsi pemikiran dilarang. Walaupun demikian, mereka tetap berkarya dan
menghasilkan puisi-puisi yang bercorak keagamaan.
Masa 66 sampai 70 didominasi oleh
karya-karya yang beraliran realisme sosial kanan (Waluyo, 1995; 62). Termasuk
di dalamnya puisi-puisi demonstrasi Taufik Ismail, Mansur Samin, Bur Rusuanto,
Slamet Sukirnanto, dll. Pada masa ini karya sastra lebih banyak dikenal adalah
karya sastra berbentuk puisi, terutama uisi-puisi demonstrasi atau protes
sosial. Dengan demikian, dalam membicarakan ciri karya sastra, masa 60-an lebih
banyak berbicara tentang ciri puisi.
Sehubungan dengan itu, Ajip Rosidi
(1991: 175), mengatakan “Dalam periode ini, berlainan dengan dalam lapangan
puisi dan esai, kita menyaksikan munculnya penarang-pengarang yang produktif
dalam lapangan penulisan buku-buku cerpen atau roman dan drama, tetapi
hampir-hampir tak ada yang istimewa menonjol.” Selanjutnya iya menyatakan,
bahwa “Buku-buku prosa yang mejulang pada periode ini umumnya buah tangan para
pengarang yang sudah kita kenal sebelumnya.”
Berbicara tentang ciri puisi masa
60-an, Waluyo (1995:62) menyatakan bahwa “Ciri-ciri struktur fisik puisi
tersebut sama dengan puisi periode 50-an. Karena tema protes sosial dikemukakan
begitu berapi-api, maka selogan dan retrorik sangat kuat.”
a. Ciri-Ciri
Puisi
Stuktur
Fisik
1. berbentuk
balada;
2. menggunakan
gaya repetisi;
3. menggunakan
gaya selogan dan retorik.
Struktur Tematik
1. bercorak
kedaerahan;
2. masalah
sosial; kemiskinan, penagguran, perbedaan kaya/miskin; demonstrasi; dan
3. keagamaan.
b. Ciri-Ciri
Prosa dan Drama
Struktur
Fisik
Karya
prosa fiksi dan drama tahun 60-an masih menunjukan struktur fisik konvesional.
Seperti dikatakan oleh Sumarjo (1992: 308) “Kaidah mimesis dalam sastra masih
dipatuhi dalam penulisan sastra drama tahun1950-an dan 60-an di Indonesia.”
Hal
ini menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan dalam hal penokohan, alur, dan
latar ceritanya. Bahkan berdasarkan catatan Sumarjo (1992:309), “Dari 55 drama
yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang jelas sekali nama, usia,
watak,dan latar belakang sosiologisnya.”
Struktur
Tematik
Prosa fiksi dan drama tahun 60-an
menunjukkan ciri-ciri tema sebagai
berikut:
1. perjuangan
(belatar revolusi);
2. kehidupan
pelacur;
3. sosial;
4. kejiwaan;
5. keagamaan.
3.
Beberapa Pengarang
Berikut
ini dikemukakan beberapa tokoh penting kepengarangan masa 60-an. Termasuk di
dalamnya penyair yang diklasifikasikan oleh H.B. Jassin sebagai penyair
angkatan 66.
1. Taufik
Ismail
Taufik Ismail adalah pelopor
puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisi Taufik Ismail menjadi ciri bagi apa yang
disebut angkatan 66 oleh H.B. Jassin. Puisi-puisinya adaalah puisi yang
mengungkapkan tuntutan membela keadilan dan kebenaran. Puisi Taufik juga disebut
sebagai puisi yang menandakan suatu kebangkitan angkatan 66 dalam perpuisian
Indonesia yang selama kurang lebih lima tahun dikuasi oleh pengarang-pengarang
Lekra.
Taufik Ismail dilahirkan di Bukit
Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Ia menamatkan pendidikannya di Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (sekarang IPB) di Bogor. Pernah menjadi
ketua Federasi Teater Bogor, anggota Dewan Kesenian Jakarta (sejak 1973). Sejak
tahun 1966 menjadi redaktur majalah Horizon.
Selain itu, ia juga pernah mengikuti Konferensi PEN Asia di Taipe dan Seoul
pada tahun 1970, Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971),
Internasional Writing Program di Universitas Lowa (1971-1972), dan Kongres
Penyair Sedunia di Taipe (1973). Ia menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI
pada tahun 1970.
Kumpulan sajak-sajaknya ialah Tirani (1966), Benteng (1966), Puisi-Puisi
Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang,
Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu
Musium Perjuangan (1969), dan Sajak-Sajak
Ladang Jagung (1973). Puisi-puisinya kebanyakan bersifat naratif dan
prosais. Puisi-puisinya tidak semua uisi demonstrasi, bahkan lebih banyak puisi
yang bukan puisi demonstrasi. Umpamanya puisi-puisi dalam Sajak-Sajak Ladang Jagung yang berlatar belakang suasana Lowa City
Amerika Serikat, atau puisi-puisinya yang bersumber pada tarih dan hadits yang
lebih bernuansa keagamaan.
Seperti halnya kesuksesannya dalam
menulis puisi demonstrasi, Taufik sukses pula dalam puisi yang bernuansa
keagamaan. Puisi-puisi Taufik banyak yang ditransformasikan ke dalam lagu
bernuansa keagamaaan oleh kelompok musik Bimbo (dari Bandung).
2. Goenawan
Mohamad
Goenawan Mohamad lahir di Batang
(Jawa Tengah) pada tanggal 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas
Psikologi UI (1960-1964), kemudian memperdalam pengetahuan di College d’Europe,
Bruge, Belgia (1965-1966), Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan Universitas
Harvard (1989/1990). Ia pemimpin redaksi majalah Tempo (sejak 1971), pemimpin majalah Swasembada (198 5). Pernah juga menjadi wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota Dewan
Kesenian Jakarta (1968-1971), pemimpin redaksi majalah Ekspress (1970-1971), redaktur Horison
(1967-1972). Sejak 1972 menjadi salah seorang Dewan Penasehat majalah ini.
Ia juga tercatat sebagai pemimpin redaksi majalah Zaman (1979-1985). Selain karirnya di bidang kewartawanan,
redaktur, dan penulis, ia juga pernah menjadi anggota MPR (1987).
Mengenai penghargaan, penanda
tangan Manifes Kebudayaan ini menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI pada
tahun 1972. Tahun 1981 mendapat Hadiah Sastra Asean. Beberapa esainya yang
mendapat hadiah dan penghargaan adalah “Alam dalam Tangkapan Pertama Puisi” dan
“Agama Alam Penciptaan Seni” memenangkan hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1962. “Revolusi sebagai Kesusastraan dan
Kesusastraan sebagai Revolusi” dan “Seribu Slogan dan Sebuah Puisi” mendapat
hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1963. “Sex Sastra Kita”, mendapat
penghargaan majalah Horison tahun
1969. Karya-karyanya berupa sajak telah dibukukan dengan judul “Parikesit” (1971), dan Interlude (1973). Sedangkan kumpulan
esainya berjudul Potret Seorang Penyair
Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Sex
Sastra Kita (1981), Catatan Pinggir 2
(1989).
Interlude, 1973
(Catatan: dari kisah
Prabu Nagling Darma yang mahir bahasa binatang. Ia mengalaami nasib kurang
baik, ketika harus berbohong kepada permaisurinya tentang pembicaraan cicak).
Di bawah ini esainya
yang berjudul “Potret Seorang Penyair Muda Si Malin Kundang”.
Malin Kundang telah terkutuk, dan tak seorang pun mencoba
memahaminya. Perahunya kandas di depan pantai, dan dalam legenda disebutkan
bahwa pemuda durhaka itu kemudian
menjadi batu. Ibunya elah mmengucapkan kutuk atas dirinya. Perempuan yang
miskin itu kecewa dan sakit hati: anak tunggalnya tak mau mengenalinya lagi
ketika ia singgah sebentar di desa kelahirannya sebagai seorang kaya setelah
mengembara bertahun-tahun. Dan kisan turun-temurun itu pun berkata, bahwa
dewa-dewa telah memihak sang ibu. Ini berarti semua soal berakhir dengan beres
: bagaimanapun setiap pendurhaka harus celaka. Tak seorang pun patut memaafkan
si Malin Kundang. Kita tak pernah merasa perlu memahami perasaan-perasaannya.
Pada umur yang kedelapanbelas, seorang anak menulis
sajak. Ia tak tahu kenapa seorang harus jadi penyair. Namun pada umur
kesembilanbelas, setahun kemudaian, anak muda itulah yang juga menulis: “salah
satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah kebebasannya dari sikap kolektif
yang mengikat diri, dan bahaya orang yang terlalu memperhatikan rumus-rumus
umum yang dikenakan di atas kesadaran kesorangannya ialah terbentuknya diri
dalam lingkungan kolektivisme,sehingga
hasilnya tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi suara umum dan penyodor
kemutlakan ajaran penyair mana pun yang baik, kehadirnnya mula pertama adalah
seorang penyair. Lebih jauh lagi : seorang manusia dengan semua masalahnya,
dalam suatu hidup. Hasil satranya pun
bukan hasil suatu eksemplar dari suatu
jumlah, tetapi hasil dari keseorangan yang betul-betul utuh”.
Beberapa tahun lamanya ia terlupa pada esai angkuh yang
pertama kali tulisnya dalam hidup itu. Namun rupanya ia telah menuliskan suatu
sikap yang kemudian berlanjut terus dalam dirinya, tanpa sepenuhnya ia
sadari. Akanya sejak mula kesusasteraan
telah membuka diri baginya dan ia telah mencicipi kemardekaan. Adam telah
mencicipi buah khuldi itu. Maka ia pun dilemparkan dari sorga ke dunia : anak
muda itu telah berpindah dari ketentraman sunyi seorang anak, kepada dunia
penciptaan yang gelisah. Dari Potret
Seorang Penyair Muda Si Malin Kundang
Goenawan Mohamad,
seperti juga Taufik Ismail, “dapat dikatakan penyair senior yang wawasan estetiknyabanyak diikuti oleh
penyair-penyair yang lebih muda,...”
(Waluyo:246). Selain itu, Goenawan Mohamad juga termasuk pelopor
Angkatan 66.
(3) Mansur Samin
Lahir pada tanggal 29 April 1930 di Batangtoru, Sumatra
Utara. Pendidikan terakhir SMA Solo. Sejak pemulaan tahun 66 ia pindah ke
Jakarta dan mengikuti dari dekat pergolakan mahasiswa dan pelajar dalam KAMI
dan KAPPI. Pernah menjadi guru, redaktur Siaran Sastra RRI Solo, redaktur Mingguan Adil (Solo), wartawan Harian Mardeka (Jakarta),
dan redaktur majalah Cerpen.
Sajaknya
“ Raja Singamangaraja” memperoleh hadiah kedua Majalah Sastra tahun 1963. Karyanya yang lain, nerupa kumpulan
sajak : Perlawanan (1966), Tanah Air (1969), Dendang Kabut (1985), dan karya drama Kebinasaan Negeri Senja
(1968). Selain itu, ia juga banyak menulis cerita anak-anak. Di bawah ini
dikutipkan sajaknya yang berjudul “ Pidato Seorang Demonstran”, dan cuplikan
dari sajak panjangnya yang berjudul “Sibagading Sirajagoda”.
Pidato
Seorang Demonstran
Meraka telah tembak teman kita
ketika mendobrak sekretarian negara
sekarang jelas bagi saudara
sampai mana kebenaran hukum Indonesia
Ketika kesukaran tambah menjadi
para mentri sibuk ke luarnegri
sebab percaya keadaan berubah
rakyat diam saja
Ketika produksi negara kosong
para pemimpin asyik ngomong
tapi harga-harga terus menanjak
sebab percaya diatasi dengan mupakat
rakyat masih diam saja
Di masa gestok rakyat dibunuh
para menteri saling menuduh
kaum penjilat mulai beraksi
maka fitnah makinberjangkit
toh rakyat masih diam saja
Mereka diupah oleh jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara berterimakasih,
bahkan memfitnah:
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala
negara
apakah kita masih terus diam saja?
Perlawanan
Puisi di atas sangat
jelas menunjukan ciri-ciri puisi Angkatan 66 yang bargaya slogan, atau yang
disebut dengan puisi “demonstrasi”. Dalam puisi ini, bahkan dari judul pun
sudah tampak jelas ciri Mansur Samin memang termasuk pengarang Angkatan 66.
Sibagading
Sirajagoda
Tengah siang
di pojok nun, ke dalam restoran
berbondong para kuli berlesuan
duduk di sebaris bangku
dari bisik dan keluh;
Telah berbulan
tak ada kapal pulang
Sedang sama menatap ke bandar sana
terkuak pintu muka
bunyi siul mengakun dari mulut kumis
brenteng
Tegap melangkah lagak parlente
bertopi pandan,bercekak pingang
menatap awas ke tiap ruang
dengan sikap angkuh
menggeser sebuah bangku
Kuli-kuli pada menyisih
terserak pergi
dari pandang yang heran
hati terus bertanya :
Dari mana pula munculnya
ini Sibaganding Sirajagoda
tidakkah dirinya
sudah lama dipejara?
Sambil mengunyah kacang
ia buka topi pandannya
tiba-tiba sekepal tinju
menghantam meja
dengan megahnya:
Kasi bir! Sambaludang!
Rokokkowa dan satepadang!
Itulah cuplikan puisi “ Sibaganding Sirajagoda” . Puisi
ini terdiri dari 48 bait, panjang sekali untuk sebuah puisi. Namun, itulah
puisi balada. Puisi ini bercerita tentang kegagahan penjahat yang bernama
Sibagandin Sirajagoda. Ia memiliki ilmu untuk mengalahkan musuh-musuh yang akan
menghalangi keinginannya.
/Maka/ di akhir
teriakan tinggi/ beterbangan stoles dan
kursi/tuak berhamburan/dan di pojok
tiang/sepuluh
tentara Nippon/
tergeletak tak bergerak/
Tiba-tiba sebuah
keleweng/melayang di udara/tapi pental
/disusul
bayonet/dicucuki dengan senjata tajam/tubuh Sirajagoda/tak
apa-apa/
Kemampuan
itu ia gunakan untuk kejahatan, termasuk menggaet wanita milik siapa saja.
Namun akhirnya mati oleh kakaknya sendiri yang tidak menyukai kelakuan adiknya
yang menggunakan ilmu kekuatan untuk pemuas nafsu jahat. Mereka mati bersama
oleh duri pandan yang sengaja ditaburkan kakaknya. Rupanya itulah pelemah yang
dimiliki Sibanganding Sirajagoda.
Puisi ini termasuk puisi balada yang menjadi ciri puisi
tahun 50-an, dan terus bertahan di tahun 60-an. Seperti dikatakan Waluyo
(1995:61) bahwa puisi pada masa ini berciri salah satunya “gaya bercerita”,
dengan struktur tematik, antara lain cerita-cerita rakyat dan mitos kedaerahan.
(4) Hartojo Andangdjaja
Hartojo lahir di solo
pada tanggal 4 juli 1930. Pendidikan
terakhirnya ialah Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Ia pernah menjadi
guru SMP dan SMA di Solo (1953-1956) dan Simpan gempat Sumatra Barat
(1957-1962), serta guru STN di Kartasura. Kini ia menetap di Pajang, Jawa
Tengah.Ia juga pernah menjadi redaktur harian Dwiwarna Solo (1954-1955), Si
Kuncung, Jakarta (1962-1964), Relung
Pustaka Solo (1970), dan terakhir majakah MadyantaraSolo (1974).
Esainya yang bejudul
“Pola-pola Pantun dalam Persajakan Modern” memperoleh hadiah ketiga Majalah Sastra tahun 1962. Esai ini
kemudian dimuat oleh Satyagraha Hoerip dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (1982). Kumpulan sajaknya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto,
1954), Manifestai (bersama Taufik
Ismail, Goenawan Mohamad, dll.,1963), dan Buku Puisi (1973). Terjemahannya
berjudul Tukang Kebun (1976) dari
karya Rabindranath Tagore.
Di bawah ini dikutip
sebuah puisinya.
Dari
Seorang Guru kepada Murid-muridnya
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu
Kalau di hari minggu enggkau datang ke
rumahku
ku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis yang sedehana
dan jendel-jendela yang tak pernah
diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tenang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap
wajah-wajahmu remaja
-horison yang selalu biru bagiku
Karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
Puisi Hartojo di atas
sangat lembut melukiskan penderitaan ekonomi
seorang guru. Keadaaan ekonomi yang tidak mengembirakan tercermin dalam ungkapan-ungkapan :
Kursi-kursi
tua yang di sana/ meja tulis yang sederhana/
jendela yang tidak pernah diganti kainnya/
Semua derita guru itu
dinyatakan akan bercerita kepada murid-muridnya yang datang ke rumanhnya.
(5) Toeti
Heraty
Toeti lahir di bandung pada tanggal 27 november 1933. Kuliah di Fakultas
kedokteran UI hingga sarjana muda (1951-1955). Setelah itu pindah studi
ke fakultas
Psikologi UI sampai tamat (1962). Tahun 1974 meraih gelar sarjana
filsafa dari Universitas
Leiden. Belanda tahun 1979 meraih gelar dokter dari UI di bidang filsafa
pernah mengajar
di
Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Kini mengajar di jurusan
Filsafat
Fakultas Sastra UI tahun 1968-1971 menjadi anggota Dewan Kesenian
Jakarta dan pernah
menjadi salah seorang ketuanya (1982-1985). Tahun 1981 mengikuti
Festival Internasional
di
Rotterdam dan tahun 1984 mengikuti Internasional Writing Program di Universitas
lowa,
lowa
city, Amerika Serikat.
Karya-karyanya sejak 33(1973), Mimpi dan Pretens (1982), dan Aku dari
Budaya (1984).
Selain
itu, Toeti menjadi penyunting bunga rampai penyair wanita Indonesia Seserpih
Pinang
Sepucuk Sirih (1979) edisi dua bahasa, bahasa indonesia dan bahasa inggris.
Bersama A. Teeuw, ia menjadi penyunting bunga rampai dwibahasa Manifestasi
Puisi
Indonesia (1986): bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.
Cocktail Party
meluruskan kain-baju dahulu
meletekan lekat sanggul rapi
lembut
ikal rambut di dahi
pertarungan dapat dimulai
berlomba dengan waktu
dengan
kebosanan, apa lagi
pertaruhan ilusi
seutas
benang dalam lautan
amuk
badai antara insan
taufan?ah, siapa
yang
masih perduli
tertawa kecil, menggigit jari adalah
perasaan yang dikebiri
kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa
tapi
deru api unggun atas
tanah tandus kering
angin
liar, cambukan halilintar
mengiringi
perempuan seram yang kuhadapi, dengan
garis
alis cemooh tajam
tertawa lantang
aku
terjabak, gelas anggur di tangan
tersenyum sabar pengecut menyamar
ruang menggema
dengan gumam hormat, sapa-menyapa
dengan mengibas pelangi perempuan
itu
pergi, hadirin mengagumi
mengapa tergoncang oleh cemas
dalam-dalam menghela nafas, lemas
hadapi saingan dalam arena?
Kata
orang hanya maut pisahkan cinta
Tapi
hidup merenggut, malam maut
harapan semua tempat
bertemu
itu
pun hanya kalau kau setuju
keasingan yang mempersona, segala
tersayang yang telah hilang
penenggelaman
dalam
akrab dan lelap
kepanjangan mimpi tanpa derita
dan
untuk badai antara insan?
Gumam, senyum, dan berjabatan tangan
(6) Bur
Rasuanto
Lahir tanggal 6 april 1937 di Palembang. Berpendidikan SMA B dan jurusan
Filsafat,
Fakultas Sastra UI pernah berkerja di Stanvac Palembang (1957-1960),
selain itu menjadi
wartawan Harian Kami (1966-1977), dan koordinator penerbitan Yayasan
ilmu-ilmu Sosial,
Jakarta, serta menjadi direktur Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Cerpennya “Discharge” mendapat hadiah kedua dari Majalah Sastra tahun
1961.
Cerpennya yang lain, berjudul “Pertunjukan dan Ethyl Plant”, memenangkan
hadia
pertama Majalah Sastra tahun 1962. Tahun 1964 dua buah bukunya, Bumi Tak
Berpeluh
(1963) dan mereka Akan Bangkit (1963), dipilih untuk memenangkan Hadiah
Sastra Yamin,
tetapi
dibatalkan karena hasutan pihak Lekra.
Novelnya yang lain Tuyet (1978), memperoleh hadiah dari Yayasan Buku
utama
Dapartemen P dan K. Karya-karyanya yang lain ialah Mereka Telah Bangkit
(1966), dan
Manusia Tanah Air (1969).
Lewat Tengah
Hari
depan
gedung pemuda dan sepanjang
merdeka utara
di
sini berhadapan muka
kekuasaan rampasan atas nama
dan
harga diri yang di atas namakan
di
sini berhadapan muka
topeng sempurna yang diperjualkan
dan
wajah-wajah yang terbuka
di
sini dicoba padamkan
api
kebangkitan yang telan menyala
dengan
gelombang rentetan peluru yang dihujankan
ke
pusat barisan
di
sini telah ditumpahkan
darah
angkatan yang bangkit melawan
ketika tangan kekuasaan
gemetar sepi dan putus asa
dan
di sini pun telah dipatahkan
mitos
kultus yang memperhamba
serta
rantai baja
yang
membelenggu kemerdekaan
Discharge
Sirena tengah hari tanda berkerja kembali,
baru beberapa menit lenyap di udara. Hari sedang panasnya. Di waktu jam
istirahat, orang-orang shift terus bekerja buat mereka tak ada waktu istirahat.
Mereka berkerja delapan jam langsung dalam sehari, selama lima hari dalam
seminggu. Jadi selama bekerja mereka tidak punya waktu istirahat khusus seperti
buruh-buruh yang bukan shift.
Pekerjaan-pekerjaan
di perkilangan adalah pekerjaan yang
tidak bisa di tunda-tunda. Tiap kilang tempat pengolahan suatu fraksi berhubungan erat dengan kilang
–kilang pengolahan fraksi lainnya. Satu diantaranya terganggu atau berhenti
bekerja,segera akan berakibat sama pada kilang-kilang lainnya, crude still misalnya, kilang induk pada
mana minyak mentah didistilir pertama kali,merupakan kilang yang tak boleh
berhenti sekejap pun, selama minyak tanah mentah terus dikeluarkan dari perut
bumi.
Kasdi sedang
bergelut dengan kerangan 12-inci ketika mendornya datang mengeluarkan secarik
kertas dan berkata : bapak dipanggil ke kantor. Dengan nafas terhengah-engah ia
mengangkat mukanya dan menyambut surat yang diulurkan mandornya kepadanya.
Hatinya berdetak dan perasaanya jadi tak enak. Ia mencoba membacanya, tapi
ketika dilihatnya huruf-huruf terangkai dengan aneh,surat itu dilipatnya
kembali,ia tak mengerti apa-apa bahasa dalam surat itu. Sejurus ia termenung,
kemudian memandang kepadanya.
-
Sekarang juga ,mandor?
-
Sekarang juga bersama-sama saya. Tak kau
baca di situ?
Kasdi hampir
mengatakan : - Buat apa kau baca. Kau juga tak mengerti bahasanya! Tapi ia
cuman bertanya:
-
Siapa yang mengganti saya di sini?
-
Tak ada! Biarkan saja,kita memang kurang
orang.
-
Tapi ini bahaya ditinggalkan. Pompa baru
jalan!
-
Itu sudah saya katakan pada Pak Duta.
Tapi tuan-tuan besar itu minta kau datang sekarang juga bersama saya.
Sekali lagi
hatinya berdetak lebih keras. Dengan langkah lesu ia menuju ke tempat
cuci. Ia mencuci tangannya dengan naphtha, kemudian dengan air. Kemudian
ia melakukan hal yang serupa terhadap bajunya, membersihkannya dari tahi-tahi
minyak yang menempel.
Cerita pendek di
atas menceritakan buruh yang tidak punya waktu selain untuk bekerja di perusahaan tempatnya bekerja.
Namun,akhirnya harus menerima pemberhentian.
Pengarang Lain
Masih ada
beberapa pengarang yang tergolong produktif
pada periode ini. Di antara mereka ialah Abdul Hadi W.M, Sapardi Djoko Damono,
Arifin C.Noer, Darmanto Jt, Wing Kardjo Wangsaatmadja, Budiman S.Hartoyo,
Slamet Soekirnanto, Isma Sawitri, S.Cahyaningsih, Saini K.M.
Hadiah Sastra
Dalam pembicaraan
tentang pengarang telah beberapa kali disebut tentang hadiah sastra. Telah
cukup banyak pengarang yang telah memperoleh hadiah sastra atau penghargaan.
Hal ini menunjukkan bahwa sudah terdapat lembaga-lembaga yang mau menghargai
karya sastra.
Diantaranya perlu disebut Majalah Sastra, majalah Horison, Yayasan Yamin, Yayasan Buku Utama,
BMKN(Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional). Di antara semua itu, Majalah Sastra
tampak lebih teratur memberikan hadiah atau penghargaan. Setiap tahun, selama
majalah terbit, mampu memberikan hadiah terhadap karya – karya bermutu.
Adanya hadiah
sastra diharapkan mampu menghidupkan atau menggairahkan kegiatan kreatif para
pengarang. Namun dalam perjalanannya,pemberian hadiah sastra itu tidak selalu
mulus.Pernah terjadi penolakan terhadap hadiah sastra, seperti terjadi pada
tahun 1964 atas hadiah sastra yang diberikan oleh Yayasan Yamin.
Setyaningsih, Lilis. 2013. Sastra Angkatan ’66 dan Sastra Kontemporer Periode 70an.(Online).(http://liliezsticcerzgurujugapunyacerita.blogspot.com/sastr a-angkatan-66-dan-sastra.html,
di kunjungi 24 Februari 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Iskandarwassid, Mien Rumini dan Aceng
Rohendi. 1997. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Putri, Zulmaimi Eka. 2013. Makalah Karya-karya Angkatan “66. (Online). (http://zulmaimiekaputri.blogspot.com/2013/09/makalah-karya-karya-angkatan-66.html,
dikunjungi 18 juni 2014).
Rumi, Mimi. 2013. Karya Sastra Angkatan 66.(Online). (http://mimirumi.blogspot.com/2013/04/karya-sastra-angkatan-66.html, dikunjungi 18 Juni 2014).
Komentar
Posting Komentar