Mimikri Representasi dalam Roman Larasati



Teori Post-Kolonialisme
            Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonal, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia. Bahasa romawi. Yang berarti tanah pertanian atau tanah pemukiman. Teori postkolonial pada awalnya dimulai ketika adanya kesusastraan persemakmuran yang mencoba mengkaji mengenai efek dari kolonialisasi yang dilakukan oleh Inggris.
Pada perkembangan selanjutnya, sebuah tulisan dari Edward Said yang berjudul Orientalism yang mengangkat mengenai wacana-wacana kolonial yang sangat menghegemoni dunia timur. Dalam pandangan Said(1978: 5), keberadaan Timur bukan begitu saja didapatkan sebagai Timur, tetepai timur memang ditimurkan oleh Barat melalui pengetahuan-pengetahuannya. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan-pandangan yang mengeksiskan teori postkolonialisme adalah Gayatri C. Spivak melalui tulisan Can The Subaltern Speak? Yang memandang bahwa kemerdekaan sebuah negera masih memposisikan kelas Subaltern sebagai bayang-bayang saja. Para petani, kaum buruh, dan perempuan masih tetap menikmati dirinya sebagai kaum yang tidak dapat bersuara.
Dalam penerapannya, teori sastra memiliki berbagai macam teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis teks-teks karya sastra. Begitu banyaknya macam teori tersebut sehingga dapat kita bagi menjadi dua bagian yakni teori-teori yang berada pada zaman sebelum modernisme dan sesudah modernisme. Dalam teori sastra kedua ini, teori yang dipergunakan untuk menganalisis adalah teori yang berada pada zaman pasca-modernisme. Salah satu teori yang akan dipergunakan untuk menganalisis teks sastra kali ini adalah teori post-kolonial.
Teori post-kolonial itu sendiri ialah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. (Ratna, 2008:90). Istilah post-kolonial ini sendiri tidak lagi merujuk kepada negaranya tetapi kepada kondisi yang telah ditinggalkan terhadap negara tersebut sehingga kajian ini tidak hanya membahas di permukannya saja tetapi hingga ke dalam, yakni sisi psikisnya.
Berkaitan dengan paragraf diatas, maka gejala-gejala kultural tersebut dapat ditemukan pada berbagai negara seperti Afrika, Australia, Bangladesh, Canada, Karibia, India, Malaysia dan Indonesia. Maka karya-karya sastra di Indonesia tentu berkaitan dengan teori post-kolonial tersebut. Dimana akan banyak ditemukan relasi antara penjajah dan terjajah pada karya sastra yang dihasilkan para penulis di Indonesia. Misalnya seperti novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam makalah ini, penulis menggunakan novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer sebagai objek teks yang akan dibedah lebih mendalam. Sebagai sebuah teori, post-kolonial merupakan sebuah teori yang objeknya merupakan teks yang menunjukkan keadaan psikis dari para bangsa yang terjajah. Indonesia merupakan salah satu bangsa yang menjadi korban jajahan, terutama oleh Belanda. Lamanya penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia merupakan sebuah kajian menarik dimana posisi Belanda sebagai penjajah yang pernah menginjakkan kaki selama tiga setengah abad di Indonesia, mempengaruhi psikis dari bangsa Indonesia. Terpengaruhnya psikis bangsa Indonesia inilah dapat kita temui dalam beberapa tokoh yang terdapat dalam novel ini. Dimana tokoh-tokoh dalam novel ini identik dengan pertanda yang cukup lekat dengan post-kolonialisme yaitu mimikri.

Sinopsis Larasati
Larasati merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang seorang wanita yang berprofesi sebagai aktris pada zaman pemerintahan kolonial Belanda bernama Larasati. Sebagai seorang aktris, Larasati memiliki paras yang cantik. Kecantikan serta profesinya membuatnya terkenal di kalangan-kalangan orang-orang dengan jabatan yang cukup penting pada kala itu. Suatu waktu, dirasa sudah terlalu lama meninggalkan ibunya, Larasati berpikir untuk pulang kembali padanya. Berdomisili di Yogyakarta, ia rela meninggalkan lelaki yang ia cintai bernama Kapten Oding demi menemui ibunya yang berada di Jakarta.
Dalam perjalanannya menuju Jakarta, ia bertemu dengan kenalannya yakni Mardjohan dan Kolonel Surjo Sentono. Tawaran menggiurkan pun datang dari mereka berdua, Ara diajak kembali untuk bermain film. Mengingat Mardjohan dan Kolonel Surjo Sentono adalah seseorang yang berpihak kepada Belanda, Ara menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa film tersebut merupakan film propaganda Belanda. Ketidaksukaan Ara terhadap kolonial ini tertangkap oleh supir dari Kolonel Surjo Sentono yang ternyata seorang pejuang. Dengan mobil yang dibawanya, supir kolonel ini akhirnya membantu mengantarkan Ara ke tempat ibunya tinggal.
Sebagai balas budi terhadap supir Kolonel Sentono yang belakangan diketahui bernama Martabat, Ara membantunya menuju pedalaman untuk bertemu dengan teman-teman pejuang yang lain. Selama perjalanan menuju ke rumah ibunya, Ara bertemu dengan banyak sekali pejuang. Baik itu mereka yang masih anak-anak, pemuda bahkan hingga kakek nenek masih saja berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan-pertemuan itulah yang membuat perasaan tak suka Ara kepada Ara semakin kuat dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang pejuang. Pengalaman yang paling diingat oleh Ara adalah ketika ia dan Martabat ikut turun berperang dengan Belanda bersama pemuda di tempat ibunya tinggal demi membuktikan bahwa ia bukan utusan dari NICA.
Ibu Ara yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga berketurunan Arab. Ia memiliki seorang majikan bernama Jusman yang pada akhirnya jatuh cinta akan kecantikan Ara. Ara pun dipaksa untuk tinggal satu kamar oleh Jusman tanpa menikah. Jusman sendiri walaupun berketurunan Arab, ia memihak Belanda dengan tugas ia harus memberangus orang-orang yang berani memberontak kepada Belanda. Hingga akhirnya ketika Belanda kalah dan Jusman mau tak mau harus meninggalkan Indonesia, Ara dan ibunya pun terbebas dari kekangan Jusman. Tak lama, ia bertemu kembali dan menikah dengan lelaki yang dicintainya, yakni Kapten Oding.

Representasi Mimikri pada Dua Tokoh dalam Larasati
Dalam mengenali post-kolonialisme dalam suatu karya sastra, kita dibantu dengan beberapa istilah yang lekat dengan post-kolonialisme. Berbagai macam istilah yang berdekatan dengan post-kolonialisme itu sendiri salah satunya adalah mimikri. Mimikri merupakan sebuah upaya masyarakat atau kelompok lokal yang meniru atau mengimitasi kebudayaan modern yang ditempilkan dalam gaya berbicara, berpakaian, bersikap, dan citra budaya lainnya. Upaya ini dilakukan oleh kelompok lokal ataupun sublatern agar mendapatkan akses yang sama dengan yang memiliki kekuasaan.
Bila kita melihat karya yang ditulis Pram sebelum Larasati seperti Tetralogi Bumi Manusia, kita tentu akan mengenali Pram dengan penulis yang karya-karyanya dapat dibedah dengan teori ini. Masih sama dengan Larasati, Pram tetap menggunakan latar waktu ketika Indonesia masih dijajah Belanda. Menariknya, Pram selalu memiliki ‘gadis’nya masing-masing dalam setiap karyanya. Dalam novel inipun, Larasati merupakan tokoh utama. Pram mencoba memotret kondisi relasi antara penjajah dan terjajah dari sudut pandang seorang perempuan bernama Larasati.
Dalam Larasati, kedatangan Belanda untuk kedua kalinya ke Indonesia merupakan sebuah bukti bahwa betapa kuatnya bangsa Barat. Sebagai bentuk dari superioritas bangsa Barat, kedatangan kembali Belanda ke Indonesia merupakan sebuah ancama terbesar bagi negara yang baru saja merdeka. Keadaan pemerintahan yang saat itu baru saja terbentuk tentu masih carut marut. Belum terbentuknya pemerintahan yang kuat di Indonesia, membuat Belanda terlampau mudah untuk kembali menguasai Indonesia.
Kedatangan kembali Belanda akhirnya memberikan pengaruh bagi rakyat Indonesia sendiri. Belanda menjadi sebuah negara kolonial yang benar-benar tidak dapat dipandang remeh. Dalam novel ini, Pram mengisahkan dua tokoh orang Indonesia yang terpengaruh atas kekuatan Belanda dan memilih untuk berpihak kepada Belanda. Tokoh pertama ialah Kolonel Surjo Sentono, seorang kolonel inlander yang berasal dari yang berasal dari Indonesia dan berpihak pada NICA.
“Kehormatan mana lagi yang mesti kau pertahankan?”Kembali airmata membahasi matanya yang baru sebentar tadi kering. Tetapi Larasati tahu, terhadap pengkhianat-pengkhianat ini tak perlu mengalah, ia pun tak akan pernah. Dan perlahan-lahan ia menjawab, “Memang aku hanya seorang pelacur, tuan kolonel. Tapi aku masih berhak mempunyai kehormatan. Karena kau tidak pernah menjual warisan nenekmoyang pada orang asing.”
Seperti yang dibahasa dalam paragraf sebelumnya, Belanda bukanlah bangsa kolonial yang dapat dipandang sebelah mata. Kedatangan Belanda untuk kedua kalinya akhirnya menunjukkan bahwa bangsa Timur merupakan bangsa yang inferior. Sifat yang menjadi ciri khas dari bangsa Barat inilah pada akhirnya ikut mempengaruhi pemikiran dari Kolonel Surjo. Ia tidak segan memposisikan dirinya sebagai superior walaupun ia hanya seorang Indonesia yang berpihak kepada Belanda.
 “Main sandiwara?” kolonel inlander itu batuk-batuk kecil, tapi kemudian suaranya bernada ancaman., “Ah, tidak. Seorang replubikein tidak bisa bermain sandiwara dengan tepat.”
Kalimatnya tersebut seakan seperti sedang memperolok Larasati yang terang-terangan menyatakan bahwa ia seorang republikein. Walaupun kolonel tersebut berbicara pada dirinya sendiri, kata “republikein” merupakan kata yang ditujukan kepada Larasati setelah Larasati menyatakan ia tidak ingin bergabung dengan NICA. Kata ‘republikein’ mengacu kepada orang Indonesia, bangsa Timur yang inferior. Dalam kalimat ini, Kolonel Surjo Sentono juga menunjukkan bahwa seorang republikein yang inferior tentu tidak dapat melakukan suatu hal yang benar berbeda dengan bangsa Barat yang menguasai ilmu pengetahuan.
Keberpihakannya kepada Belanda membuat Kolonel Surjo memiliki cara berpikir dan cara pandang yang sama dengan Belanda. Cara berpikir dan cara pandang inilah yang akhirnya membuatnya merasa bahwa ia setara kedudukannya dengan Belanda. Sehingga ia berhak memperolok bahkan merendahkan orang Indonesia. Selain merendahkan dengan mengakatakan seorang republikein tidak dapat melakukan sandiwara dengan tepat, Kolonel Surjo juga memberikan sebutan yang tidak pantas terhadap republikein sendiri sama dengan sebutan Belanda kepada para kaum terjajah.

 “Antarkan dia, aku bilang!”
“Penjara mana, tuan kolonel?”
“Husy, kau tahu di mana monyet-monyet itu dikurung, pergi!”

Kata ‘monyet-monyet’ yang disebutkan oleh seorang Kolonel Surjo tersebut ditujukan bagi para pejuang-pejuang yang tertangkap oleh Belanda kemudian dipenjarakan. Dengan menggunakan kata ‘monyet’ sebagai sebutan bagi para pejuang Indonesia telah menunjukkan bagaimana Kolonel Surjo beranggapan bahwa ia berhak memiliki sikap yang sama dengan Belanda walaupun ia sendiri adalah orang Indonesia. Hal ini dikarenakan keberpihakann ya kepada Belanda sehingga ia menganggap dirinya sejajar dengan kolonial sehingga berhak memperlakukan pejuang Indonesia atau republikein lainnya sama dengan cara Belanda.
Indonesia yang kala itu baru saja berdiri sebagai negara baru, tentu masihlah menata pemerintahannya. Persenjataan untuk keamanan negara sendiri pun masihlah kalah dengan para kolonial. Barat yang menjadi pusat pengetahuan tentu memiliki perkembangan persenjataan yang jauh lebih mutakhir daripada Timur. Hal ini pula yang menjadikan Barat turut berbangga dan merasa pantas untuk menjadi bangsa yang superior.
Pada tokoh kedua terdapat Mardjohan, seorang announcer serta produser film. Keberpihakkan Mardjohan terhadap Belanda dikarenakan kebenciannya terhadap revolusi yang memisahkannya dari gadis yang ia cintai. Kebenciannya itulah yang akhirnya membuat ia mengikuti jejak dari Kolonel Surjo Sentono berpihak kepada Belanda. Lama bergaul dengan Belanda akhirnya menciptakan pemikirannya yang sama yakni superior. Mardjohan menganggap, kemenangan dalam suatu perang dapat dilihat dari persenjataan yang mutakhir.

“Kau begitu yakin pada kemenangan Revolusi. Aku lebih percaya pada kemenangan meriam.”

Pernyataan yang diberikan Mardjohan kepada Ara, menunjukkan bahwa bagi Mardjohan revolusi hanyalah sebuah perlawanan tanpa arti. Perlawanan sesungguhnya adalah negara yang memiliki senjata yang modern, yakni meriam. Kekuatan senjata Belanda membuat Mardjohan tertarik daripada sekedar melawan dengan semangat revolusi.


Kesimpulan
Sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka kemudian didatangi kembali oleh sebuah negara yang pernah menjadi penjajah di Indonesia, tentu bukanlah hal yang mudah. Mengingat sistem pemerintahan masihlah baru dan belum terlalu kuat. Kedatangan Belanda ini pada akhirnya tidak dapat dipandang remeh sehingga mempengaruhi beberapa orang Indonesia untuk berbalik berpihak kepada Belanda. Novel yang sarat dengan mimikri pada kedua tokoh yakni Kolonel Surjo Sentono dan Mardjohan, merupakan sebuah pembuktikan bagaimana kolonial memiliki pengaruh yang begitu besar bahkan hingga ke psikis seseorang.

  
Daftar Pustaka
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka
Yasa, I Nyoman. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra Darmawati
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Prespektif Klasik, Modern, Postmodern, dan poskolonial. Jakarta, Rajawali Post
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Toer, Pramoedya Ananta. 2009. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Angkatan Reformasi dan 2000-an

Pendekatan Pragmatik

Surah Al-‘Alaq