Naskah Drama - Kami Juga Cinta
KAMI
JUGA CINTA
Universitas
Gemilang adalah satu di antara universitas terbaik yang ada di Indonesia.
Kebanyakan dari orang-orang yang berpengaruh di Indonesia merupakan lulusan
dari universitas ini. Universitas ini juga tidak hanya terbaik di Indonesia,
tetapi juga di dunia. Di UG (singkatan dari Universitas Gemilang), semua
jurusan harus mampu menggunakan semua bahasa yang ada di dunia. Mau itu bahasa Inggris,
Arab, Cina, atau bahasa Zimbabwe sekalipun, semuanya harus bisa.
Mengingat
berada dalam wilayah Indonesia, UG membuat sebuah peraturan bahwa bagi semua
warga UG wajib menggunakan bahasa Indonesia kembali setalah proses perkuliahan
di kelas selesai. Hal ini dibuat agar tidak membiasakan diri dengan bahasa
asing dan tetap ingat dengan bahasa sendiri. Namun sayangnya, para mahasiswa/i
yang ada di UG sering menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi di luar
kegiatan perkuliahan. Ada seorang mahasiswi yang sangat pro dengan bahasa
Indonesia. Dia bernama Tri Desi Anggraini Ningrum. Orang memanggilnya dengan
panggilan Uum. Di kampus, dia diberi kepercayaan oleh Rektor sebagai “Duta
Bahasa” yang harus mengawasi bahasa yang digunakan oleh mahasiwa/i apabila
berada di luar perkuliahan tetapi berada di lingkungan kampus. Di kampus, dia
sering mendapat julukan “ABI” (Aktivis Bahasa Indonesia) oleh teman-temannya.
Mau tahu seperti apa ceritanya? Langsung saja, selamat menyaksikan!
Uum:
(berjalan pelan sambil mengamati sekitar) “Heemm,, aman terkendali.”
Liwa
dan Dima terlihat sedang menggunakan earphone
sambil bernyayi lagu hardcord dengan suara nyaring.
Uum:
“Hei, apa yang sedang kalian lakukan?” (memandang sinis)
Dima:
(hanya memandang lalu mengacuhkan)
Uum:
“Permisi mas-mas yang ganteng, bisakah kalian mengecilkan suara kalian yang
merdu
itu?”
Liwa
dan Dima tetap acuh.
Uum:
(mengambil secarik kertas dari dalam tas lalu menulis sesuatu) “Bisakah kalian membuka
earphone kalian sebentar? Aku ingin
bicara.”
Liwa
dan Dima membuka earphone.
Liwa:
“Heh?”
Uum:
“Maaf ya, bisakah kalian tenang? Jika ingin mendengarkan lagu, cukup dengarkan
sendiri dan tidak perlu
berteriak-teriak seperti itu.”
Dima:
“So? Just it? Oh my God, I think there is
big problem.” (tertawa geli)
Uum:
“Heemm, sudah berapa kali harus ku ingatkan bahwa kita harus menggunakan...”
Liwa:
“Bahasa Indonesia yang baik dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari
sehingga
bahasa kita bisa tetap terjaga. Itukan
yang mau loe bilang? Hah, gue udah tahu.
Udah berapa kali juga gue dengar kata-kata itu dari mulut loe. Gue
udah terlalu hatam.”
Dima:
“ABI, dari pada loe sibuk ngurusin
kita, baik loe pulang, ambil kamus
lalu belajar.
Kalo
gak, loe bobo’ siang gih sana.
Iya gak, Wa?”
Liwa:
“That’s right bro!” (tertawa puas)
Uum:
“Heh, aku ini memberitahukan hal yang benar. Coba kalian pikir, kalau bahasa
Indonesia sudah tidak ada lagi, kita
bisa kehilangan identitas kita.”
Liwa:
“Dim, kita pindah aja yuk. Males gue
diceramahin mulu. Kayak kita kenal dia aja,
kenal juga terpaksa.”
Dima:
“Hahaha, oke, bro!”
Liwa
dan Dima berlalu sambil bernyanyi lagu Harcord
kesukaan mereka dan meninggalkan Uum yang berteriak-teriak di belakang mereka.
Uum:
“Hei, kalian mau kemana? Aku belum selesai bicara. Hei, hei...!!! (kesal)
Heemm, ya sudah kalau tidak mau
mendengar. Dasar, pelupa! Seolah tak tahu di mana
dia berpijak.”
Uum
berjalan kembali dan mengamati keadaan sekitarnya. Tak sengaja, dia mendengar
percakapan dua orang anak perempuan.
Elis:
“Selamat pagi Sella!” (dalam bahasa Jepang)
Elta:
“Selamat pagi!” (dalam bahasa Jepang)
Elis:
Elta:
Elis:
Elta:
Uum:
(Tiba-tiba muncul dari belakang) “Heh, apa yang sedang kalian bicarakan?” (muka
sinis)
Elta:
“Ti.. tidak. Kami tidak membicarakan apa-apa.”
Elis:
“Kami cuma sedang bicara tentang kuliah kami kemarin.”
Uum:
“Jangan bohong! Aku mendengar kalian berbicara dalam bahasa Jepang tadi.”
Elis:
“Tidak. Kami hanya membicarakan tentang kuliah kami kemarin. Hanya itu saja,
tidak
ada yang lain.”
Elta:
“Lalu, jika kami membicarakan hal lain, apa urusanmu?”
Uum:
“Urusanku? Sesuai dengan peraturan yang ada di universitas ini, semua warga UG
dilarang menggunakan bahasa asing di
luar perkuliahan.”
Elta:
“Lalu kalau aku sebutkan judul film bahasa Jepang, aku harus mengartikannya
dulu?
Gitu? Heemm,, aku gak pernah ngerti dengan jalan pikiranmu, Um? Kamu ini aneh,
sangat aneh. Hanya menyebutkan judul
dalam bahasa Jepang saja kamu marah.”
Elis:
“Iya, kamu terlalu kolot dan apatis.”
Uum:
“Apa? Aku apatis? Maksudmu?”
Elta:
“Udah, kamu artikan saja sendiri maksud dari omonganku tadi. Nanti kamu juga
bakalan
paham.”
Elis:
“Gak mungkin dia gak paham, Ta. Diakan “Duta Bahasa” yang berwawaan luas, ya,
pura-pura gak tahu aja kali ya.”
(tersenyum sinis)
Elta:
“Udah, kita pergi aja dari sini. Susah ngomong dengan ABI, yang ada kita salah
semua
gara-gara gak sesuai EYD.”
Elis
dan Elta sibuk melanjutkan cerita tentang anime
yang sempat tertunda tadi dengan meninggalkan Uum yang berteriak-teriak di
belakang mereka.
Uum:
“Hei, kalian mau kemana? Aku belum selesai bicara. Hei, hei...!!! (kesal)
Heemm, ya sudah kalau tidak mau
mendengar. Dasar, pelupa! Seolah tak tahu di mana
dia berpijak.”
Uum
yang kesal mencoba menenangkan dirinya di taman kampus. Suasana taman yang
nyaman, membuat pikirannya tenang dan kekesalan yang dirasakannya pun sedikit
berkurang.
Uum:
“Heemm,, apa yang ingin ku lakukan sekarang? (merogoh tas) Haaa,, ada permen.”
Uum
berjalan sambil memakan permennya. Ketika tengah berjalan, tiba-tiba dia
mendengar ada dua orang yang tengah asyik bercakap-cakap.
Uum:
“Heemm,, siapa itu? Seperti Anwi dan Onik. Kira-kira mereka membicarakan apa
ya?”
Uum
diam-diam mendekati Anwi dan Nonik. Dia menguping pembicaraan mereka.
Onik:
“”
Anwi:
“”
Onik:
“”
Anwi:
“”
Onik:
“”
Anwi:
“”
Onik:
“”
Karena
mendengar mereka berbicara dalam bahasa Korea, Uum pun kesal dan menghampiri
mereka.
Uum:
“Hei, kalian berdua!” (muka sinis)
Onik:
“Oh, ada ABI. Kenapa?”
Uum:
“Aku tidak pernah mengerti dengan kalian. Sudah berapa kali aku memergoki
kalian
menggunakan bahasa asing itu dan
berapa kali juga aku menasehati kalian tetapi selalu
saja diulangi.”
Anwi:
“ABI, berapa kali juga kami harus jawab kalau kami gak perduli sama semua
omonganmu? Asal kamu tahu ya, aku
sama Onik suka banget Korea. Cowoknya
ganteng-ganteng, boybandnya keren-keren, negaranya maju.”
Onik:
“Iya, BI, bener banget tu. Makanannya juga enak-enak. Dramanya, uuhh,,
romantis banget.
Aku punya film Korea baru loh, judulnya . Yang main itu . ganteng
banget.
Kamu mau ikutan kita nonton? Yuk, yuk, yuk! (menarik tangan Uum)
Uum:
“Eeehh. (melepas tangan Onik) Aku, kamu ajak untuk nonton film Korea? Hahaha,,
kamu yang benar saja. Lebih bagus
film-film Indonesialah. Untuk apa nonton laki-laki
setengah wanita seperti itu. Iihh.”
Anwi:
“Apa kamu bilang? Laki-laki setengah wanita? Jaga ya mulut kamu. Mereka itu
keren, mereka berbakat. Sebelum
mereka jadi artis, mereka harus debut dulu. Gak
kayak orang Indonesia yang cuma lipsing doang bisa jadi artis.”
Onik:
“Iya, benar tu. Mereka semua berbakat tahu. (tiba-tiba diam dan berpikir) Tapi
benar
juga sih Wi kata-kata ABI.
Merekakan pada pakai bedak tebel,
kadang juga pakai
lipbloss.
Bukannya itu kayak cewek ya?”
Anwi:
“Ih, kamu apaan sih, Nik. Kok jadi belain dia. Ah, kamu gak asyik.” (pergi
meninggalkan Onik)
Onik:
“Loh, loh, tapikan aku bener. Mereka emang suka pakai bedak tebel dan pakai
lipbloss. Kok aku ditinggalin sih? ABI, aku
duluan ya. Kalau mau ikutan nonton film
Koreanya, hubungin aku aja. Anwi tunggu...”
Uum:
(memandang ke arah mereka dengan aneh) “Heh, dasar orang-orang aneh!”
Waktu
sudah menunjukkan pukul 11.20, 1 jam lagi Uum ada jadwal perkuliahan. Karena
dia takut terlambat, dia pun segera pergi ke kampus. Setelah 15 menit berjalan
kaki, Uum sampai di dalam kelas. Baru beberapa menit dia duduk, datanglah 3
orang teman sekelasnya yang baru selesai menonton film dari bioskop.
Anti:
“Guys, sumpah, filmnya keren abis. Aku pengen nonton lagi.”
Rohan:
“Iya, ya. Ingat adegan pas .”
Tya:
“Iya, itu bagian yang seru banget.
Terus .”
Anti:
“Iya, bener tu. Lalu . Heemm,, he is handsome. I want be your girlfriend,
honey.”
Tya
dan Rohan: “Huuu,, maunya.” (tertawa)
Uum:
“Apa bagusnya film luar negeri? Lebih bagus film Indonesia. Banyak film
Indonesia
yang laris di kanca Internasional.
Bahkan banyak pesan pendidikan dan moralnya.
Sedangkan film luar negeri? Hanya kebanyakan
aksi.”
Rohan:
“Gak kok. Film luar negeri juga
banyak yang ngasih pesan pendidikan dan moralnya.
Contohhnya film , ”
Anti:
“Iya, bener kata Rohan. Film
Indonesia lebih banyak ngasih hal
negatif dari pada
positifnya. Contohnya
sinetron-sinetron remaja yang ada di tv. Banyak contoh-contoh
negatif yang gak seharusnya
dicontohin tapi malah dijadikan adegan favorit.”
Tya:
“Lagian kamu kalau jadi orang jangan
suka kepo deh, mau tahu aja urusan orang lain.”
Uum:
“Aku ini Duta Bahasa yang harus mengawasi semua pembicaraan kalian. Kalau ada
yang tidak sesuai, jelas aku marah.”
Tya:
“Hei, kami juga punya privasi. Gak
semua hal yang kami bicarain harus atas izin kamu.
Kamu ini pintar, tapi sayang ruang
lingkup berpikirmu dangkal. Baiknya kamu pergi
dan jangan pernah urusi urusan kami
lagi. Kami tidak butuh orang sepertimu.”
Mendengar
hal itu Uum langsung terdiam dan tak mampu untuk berkata apa-apa lagi. Dia pun
pergi ke lorong kampus dan merenungi semua hal yang dialaminya pada hari itu.
Uum pun tertunduk lemas dan serasa tubuhnya tak berdaya lagi. Betapa
terpukulnya dia saat mengingat semua kata teman-temannya yang tak menyukainya.
Dari sudut yang berbeda, teman-teman yang ditegur Uum tadi melihat kondisi Uum
yang seperti itu. Mereka merasa bersalah karena sudah berkata hal yang seperti
itu kepada Uum. Secara bersamaan, mereka menghampiri Uum.
Rohan:
“Uum, boleh kami duduk di sini?”
Uum:
“Kalian mau apa? Bukankah kalian membenciku? Menjauhlah dariku.”
Anti:
“Uum, (memegang tangan Uum) maafkan kami ya yang udah keterlaluan
memperlakukan kamu. Kami gak punya maksud kayak gitu.”
Liwa:
“Maafin gue juga ya Um. Gue emang
suka hardcore, tapi gue juga gak lupa sama
bahasa gue. Kita semua kayak gini
cuma mau loe tahu, walaupun kita gak sering pake
bahasa Indonesia, itu bukan berarti
kalau kita gak cinta bahasa
Indonesia. Loe salah Um
kalau punya pikiran kayak gitu.”
Tya:
“Iya. (Mengulurkan tangan) Maafin aku juga ya yang udah bilang kayak gitu ke
kamu.
Kamu harus tahu Um, kita boleh
mencintai bahasa sendiri, tapi ingat, Indonesia bukan
negara satu-satunya di dunia. Ada
banyak bangsa lain dengan bahasanya yang harus
kita pelajari.”
Anwi:
“Jangan senang dalam kotak kamu sendiri Um, karena di luar kotak ada dunia yang
harus kamu jelajahi.”
Uum
yang mendengar kata-kata tersebut, perlahan mengangkat kepalanya. Dia menyadari
bahwa semua yang dilakukan teman-temannya itu bukanlah karena mereka
membencinya tetapi ingin membuka pikiran Uum bahwa walaupun mereka kadang tidak
menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya tapi mereka tetap mencintai
bahasa negaranya itu, yaitu bahasa Indonesia.
Dima:
“Kami juga cinta bahasa Indonesia.” (tersenyum)
Uum:
(Membalas senyuman Dima)
(Lainnya
ikut tersenyum)
Dima:
“Gue baru tahu, kalau nama dia itu
Uum. Gue kirain namanya emang ABI. Hehe.”
Lainnya:
“Astaga, Dima!” (mengerutkan wajah ke arah Dima)
(Semuanyapun
tertawa)
-SELESAI-
Komentar
Posting Komentar