Pendekatan Estetik
A.
Sejarah
Pendekatan Estetik
Teori estetika
antara lain dikembangkan oleh RT. Segers dalam bukunya Receptie Esthetika. (1978) Di dalam pengantarnya ia
menulis: Aan het eind van de jaren zestig werd in weat Duitsland de receptie
esthetika geintroduceerd" (RT.
Segers, 1978: 9). Ini berarti bahwa resepsi estetika telah diperkenalkan di
Jerman Barat pada akhir tahun 60-an. la menunjuk artikel Roman Jacobson: "Linguisties and Poeties" (1960) yang berisi sebuah model komunikasi. Pada penerbitan yang
terdahulu D.W. Fokkema dkk. (1977) menyajikan "The Rezeption of
Literature: Theory and Practice of'Rezeptionns aesthetik" dalam bab 5 bukunya yang berjudul "The
ories of Literature in The Twentieth Century. Di dalam bab 5 mereka mengutip pendapat Lotman (1972) "In fact, the literary work consist
of the text (the system of intra-textual relations) in its relation to
extra-textual reality: to literary norms, tradition and the imagination".
Selanjutnya ia mengutip pendapat Siegfried J. Schmidt (1973) "Reception
(therefore) occurs as a process creating meaning, which realizes the
instructions given in the linguistic appearance of the text" (D.W Fokkema, 1977: 137).
Buku Receptie
Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi estetika yang
diletakkan oleh Hans Robert ]auss dan Wolfgang Iser. Menurut ]auss (1970) ada
tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:
1) norma-norma
genre terkenal teks yang diresepsi;
2) relasi
implisit dengan teks yang telah dikenal dari periode sejara sastra yang sarna;
3) kontradiksi
flksi dengan kenyataan.
Ada
tiga macam pembaca:
1) Pembaca
sesungguhnya
Menurut Segers (1975) pembaca
sesungguhnya termasuk kategori yang paling mendapat perhatian, termasuk dalam
teori estetika.
2) Pembaca
implisit
Menurut Iser (1973) pembaca implisit
adalah peranan bacaan yang terletak di dalam teks itu sendiri, yakni
keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya. Jadi pembaca implisit
imanen di dalam teks yang diberikan
3) Pembaca
eksplisit
Menurut Grimm (1975) pembaca eksplisit
dapat disebut juga pembaca fiktif, imajiner atau imanen.
Selanjutnya
dikemukakan empat buah teori dari R. I Segers, G. de Vriend dan Wolfgang Iser,
H van den Bergh dan T. Anbeek. R. T. Segers mengemukakan tentang pembaca dan
teks; bagan proses komunikasi G. de Vriend dan Wolfgang lser mengutarakan teks
fisional. H van den Berg menyajikan pendekatan karya estetis problem genre. T.
Anbeek mengutarakan resepsi estetika dan resepsi sejarah.
Props di dalam Evan der starre dkk (1978)
membicarakan paradigma dan resepsi nasional. Pada tahun 1980 Rien T. Segers
mengembangkan teori resepsinya dengan judul Het Lazen van literature sebuah pengantar pendekatan sastra
secara baru. Ia merumuskan teorinya dalam lima bab yaitu:
1)
prinsip-prinsip resepsi estetika;
2)
perkembangan lebih lanjut di dalam resepsi
estetika;
3)
konsekuensi pendapat sastra resepsi
estetika;
4)
penjelasan penelitian resepsi estetika;
5)
masa depan resepsi estetika.
Di dalam prinsip ini dikemukakan pergeseran tekanan
dalam studi sastra; dari pengarang melalui teks ke arah pembaca; dua buah
pengertian pusat yakni cakrawala harapan dan tempat terbuka; penafsiran dan
tempat terbuka; penafsiran dan evaluasi; resepsi historis dan keJja penelitian.
Di dalam konsekuensi diutarakan perhatian terhadap pembaca teks dan pengarang;
semiotik sosiologi sastra dan psikologi sastra. Di dalam penjelasan dikemukakan
resepsi sejarah; sinkronis clan diakronis; penelitian cakrawala harapan;
pertimbangan nilai pembaca tentang sastra modem dan kader pengajaran sastra. Di
dalam masa depan dibicarakan penyelesaian teori resepsi, perkembangan lebih
lanjut penelitian praktis, kemungkinan penerapan resepsi estetika, implikasi
pendidikan sastra dan ke arab organisasi pengajaran dan penelitian.
Tahun 1982 Hans Robert Jauss mengemukakan sisi
pengalaman estetis di dalam bukunya Aesthetic Experiellce and literary
Hermelleuties. Pada tahun 1984 A.
Teeuw di dalam bukunya yang berjudul Sastra dan Ilmu Sastra membicarakan teori resepsi
Mukarovsky, Vodieka, Jauss, dan Madame Bovary. Dibicarakan pula masalah estetik
dalam ilmu sastra, penerapan metode penelitian resepsi sastra, penelitian
resepsi lewat kritik sastra dan pendekatan lain terhadap penelitian resepsi;
intertekstual, penyadaran dan penerjemahan.
Tahun 1984 karya Ian van Luxemburg dkk. diterjemahkan
Dick Hartoko dengan judul Pengantar ilmu Sastra. Di dalam buku tersebut dibicarakan penafsiran dalam ilmu sastra,
resepsi dan penafsiran, estetika pembaca, pengertian mengenai resepsi, dan
sejarah resepsi. Pada tahun 1985 Umar Ioous menulis buku Resepsi sastra. Di dalam buku itu dibicarakan
penulis dan karya, resepsi sastra, resepsi sastra dan pendekatanpendekatan
lain, resepsi sastra: Latar belakang toori dan kemoogkinan penggunaannya,
problematik dan kritik.
B.
Hakikat
Pendekatan Estetik
Pendekatan estetik atau estetika resepsi
adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi
pembaca terhadap karya sastra karena karya sastra itu tidak lepas dari individu
atau masyarakat.
Dalam teori
estetika resepsi hal yang paling utama diperhatikan adalah pembaca karya sastra
yang berada diantara posisi segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat
pembaca. Hal ini disebabkan oleh kehidupan historis sebuah karya sastra tidak
terfikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Apresiasi pembaca pertama
terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui
tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara
ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetika terungkap.
Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan
wajah yang sama pada masing-masing pembaca disetiap periode.
Pada dasarnya orientasi estetik terhadap karya
sastra itu ada 4 macam seperti digambarkan oleh M.H Abrams.
1) Mimetik
Mimetik menjadi
alat tiruan bagi sebuah karya sastra sebagai kreatifitas pengarang. Menurut
Abrams, karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala
sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam
semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam
sebuah karya sastra.
2) Objektif
Karya sastra
tidak lain adalah alat
pengungkapan perasaan pengarang yang menjadi kreatifitasnya. Karya sastra
menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek
yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan
sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra
tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa
bagi pembacanya. Karena rasa yang ada dalam jiwa pembaca itu karena pembaca
merasakannya di alam yaitu tempat manusia hidup.
3) Ekspresif
Ekspresif
merupakan sebagai pembuat ide dan kreatifitas. Seorang pengarang
melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam pikiran
pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra. Maka
faktor mimetik dalam teori Abrams sangat
berpengaruh dalam kesastraan karena pengarang tidak akan mampu berkreatifitas
tanpa adanya tiruan yaitu alam semesta.
4) Pragmatik
Pembaca ketika
melihat sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar
tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra
melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu
menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa
defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca
mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra
adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang
dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.
Berdasarkan hubungan ini, estetika
resepsi itu termasuk pada orientasi pragmatik. Karya sastra itu sangat erat
hubunganya dengan pembaca, yaitu karya sastra itu ditujukan kepada pembaca,
bagi kepentingan masyarakat pembaca. Disamping itu pembacalah yang menentukan makna
dan nilai karya sastra. Karya sastra itu tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca
yang menanggapinya dan karya sastra akan mempunyai nilai karena pembaca yang
menilai.
Dalam hubungannya dengan
resepsi atau tanggapan pembaca itu akan berbeda beda tanggapannya karena
pembaca mempunyai tangapan dan pemikiran sendiri mengenai objeknya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Cakrawala harapan ini adalah
harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai
wujud sebuah karya sastra sebelum ia membacanya. Dalam arti, seorang pembaca
mempunyai konsep tertentu tentang sebuah karya sastra baik puisi, cerpen,
novel, atau bentuk karya sastra lainnya. Seorang pembaca itu mengharapkan bahwa
karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya.
Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seseorang dengan orang lain itu
mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan
periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan
cakrawala harapan. Adapun cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya
sastra. Begitu juga halnya cakrawala harapan sebuah periode. Hal ini seperti
juga diterangkan oleh Segers, bahwa cakrawala harapan itu ditentukan oleh tiga
faktor, yaitu:
1) ditentukan oleh
norma-norma yang terdapat dari teks yang telah dibaca;
2) ditentukan oleh
pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
3) pertentangan
antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami baik dari
unsur intrinsik maupun ekstrinsik sebuah karya sastra.
C. Teori
Pendekatan Estetik
Pendekatan estetik merupakan teori pendekatan yang digunakan
dalam menilai sebuah karya sastra. Estetika menduduki urutan ke empat setelah
yang pertama karya sastra merupakan tiruan alam atau penggambaran alam, kedua
karya sastra merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada
pembacanya, dan yang ketiga karya sastra adalah merupakan pancaran perasaan
atau pengalaman pengarang. Pendekatan estetik adalah ilmu keindahan yang
didasarkan pada tanggapan atau resepsi pembaca. Teori ini muncul karena karya
sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya. Karya sastra
memunyai nilai karena ada pembaca yang menilainya.
Teori Jauss dalam buku Toward an Asthetic of Reception
(1983; 20-45), teori estetik dapat dibagi menjadi tujuh hal yang keseluruhannya
saling berkaitan satu sama lain adalah sebagai berikut.
1)
Pengalaman
Pembacaan
Sastra atau karya sastra tidak
memberi pandangan yang sama bagi tiap penikmat sastra dalam setiap periode.
Sastra atau karya sastra bukanlah monumen yang secara monologis menyatakan
esensi (makna) sepanjang masa. Sastra atau karya sastra lebih mirip
sebagai orkestrasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru di antara para
penikmatnya dan membebaskannya dari materi kata-kata dan membawa pada
keberadaan kontemporer (kekinian). Sebuah karya bukanlah sebuah objek yang
berdiri sendiri, menawarkan pandangan yang sama kepada pembaca dalam setiap
periode.
2)
Horizon
Harapan
Suatu karya sastra tidak pernah
tampil sama sekali baru dalam kekosongan informasi, tetapi mengandung saranan
yang mengarahkan penikmat sastra. Karya sastra memengaruhi penikmatnya
dengan pemberitahuan melalui tanda-tanda yang mudah dan sulit, ciri-ciri yang
akran, atau sindiran yang tidak langsung. Semuanya itu akan membangkitkan
memori tentang apa yang telah (pernah) dibacanya (dinikmatinya), membawa
penikmat sastra ke dalam tingkah laku emosional yang khusus, yang pada awalnya
menimbulkan harapan-harapan pada bagian tengah dan akhirnya, dan kemudian dapat
dipertahankan keutuhannya atau dibalik, diorientasikan kembali, atau bahkan
secara ironis disempurnakan dalam pembacaan itu sesuai dengan aturan-aturan
jenis sastranya
3)
Jarak
Estetik
“Horison
harapan” sastra atau karya sastra menunjukkan satu di antara cara untuk
menentukan ciri-ciri artistiknya dengan macam dan tingkat pengaruhnya pada
pembaca yang ditentukan. Jika seseorang mengkarakterisasikan perbedaan
antara “horizon harapan” dengan pemunculan karya baru sebagai jarak estetik,
maka penerimaannya dapat menghasilkan “perubahan horizon-horizon” melalui
negasi terhadap pengalaman-pengalaman yang telah dikenalnya, atau melalui
pengangkatan pengalaman-pengalaman barunya pada tingkat kesadaran. Dengan
demikian, jarak estetik dapat diobjektivasikan secara historis sepanjang
spektrum reaksi-reaksi pembaca dan penentuan kritik (keberhasilan yang spontan,
penolakan atau shock, penyetujuan di
beberapa bagian, pemahaman bertahap atau ditunda).
Jarak estetik merupakan jarak antara
horison harapan dan karya, antara pengalaman estetik sebelumnya dengan
perubahan horison harapan. Semakin kecil jarak estetik suatu
karya baru dengan horison harapan yang ditimbulkan dari karya sebelumnya, maka
nilai sastra dari karya tersebut semakin rendah, begitu pula sebaliknya.
4) Semangat Zaman
Rekonstruksi
horison harapan, dalam hal ini karya sastra, dicipta dan diterima pada masa
lampau, menyebabkan seseorang bertanya kembali tentang teks itu, dan mencoba
menemukan bagaimana pembaca saat ini memandang dan memahami karya
itu. Pendekatan ini membenarkan norma-norma klasik yang tidak
dikenal atau pemahaman sastra modern, dan mengabaikan jalan lain pada “semangat
zaman”.
5) Rangkaian Sastra
Teori
estetika resepsi tidak hanya memandang makna dan bentuk karya sastra dalam
penjelasan historis pemahamannya. Teori ini juga menuntut kerja
individual sebagai bagian dari jajaran kerja lainnya, untuk mengetahui arti dan
kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman sastra. Di dalam tahapan
dari sejarah resepsi sastra ke sejerah sastra, yang kedua ini memanifestasikan
diri sebagai propses resepsi pasif.
6) Perspektif Sinkronis – Diakronis
Sinkronik
adalah cara penelitian resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa
atau periode. Untuk mengetahui tanggapan-tanggapan yang bermacam-macam tersebut
dapat dikumpulkan para kritikus atau dapat dilakukan dengan mengedarkan angket
kepada pembaca-pembaca sekurun waktu. Dari angket yang diedarkan atau pendapat
para kritikus akan dapat diteliti konkretisasi dari masing-masing pembaca.
Dengan demikian dapat disimpulkan nilai sebuah karya sastra pada suatu kurun
waktu.
Penelitian
yang kedua adalah penelitian diakronis. Penelitian ini dilakukan dengan
mengumpulkan tanggapan-tanggapan pembaca ahli sebagai wakil pembaca dari tiap periode. Dengan demikian akan
dapat disimpulkan bagaimana nilai estetik sebuah karya sastra berdasarkan
resepsi-resepsi disetiap periode itu. Dalam penelitian itu dilteliti
dasar-dasar apa yang dipergunakan oleh pembaca disetiap periode, norma-norma
apa yang menjadi dasar konkretisasinya, dan kriteria apa yang menjadi dasar
penilaiannya. Dengan begitu maka akan dapat disimpulkan nilai estetik karya
sastra sebagai karya seni sastra. Bila disetiap periode karya tersebut mendapat
nilai positif, hal itu berarti karya tersebut bernilai tinggi.
Hasil-hasil
yang dicapai dalam linguistik melalui perbedaan interelasi
metodologis analisis sinkronis
dan diakronis,
yaitu pembenahan atau
penyempurnaan observasi diakronis yang sampai sekarang menjadi metode yang
biasa dalam studi sejarah sastra. Perspektif sejarah sastra selalu menemukan
hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya
terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan pandangan sinkronis guna
menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga
didapat sistem hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.
7) Sejarah Sastra dalam kerangka
Sejarah Umum
Tugas
sejarah sastra hanya terselesaikan apabila produksi sastra tidak hanya
direpresentasikan secara sinkronik dan diakronik dalam suksesi sistemnya, namun
juga dipandang sebagai “sejarah khusus” dalam hubungan unitnya dengan “sejarah
umum”. Hubungan tersebut tidak berakhir dengan fakta yang ditipekan,
diidealkan, satirik, atau dengan citra utopia dari eksistensi sosial dari
sastra di sepanjang jaman. Fungsi sosial dari sastra termanifestasi
dalam kemungkinannya yang begitu unggul khususnya ketika pengalaman seni dari
“pembaca” (penikmat seni) memasuki cakrawala harapan dari praxisnya,
menghayalkan pemahamannya tentang dunia dan sehingga juga memiliki efek pada
perilaku sosialnya.
Dalam
menilai dan menanggapi sebuah karya sastra, tentu akan berbeda antara seorang
dengan orang lain. Apalagi antara satu zaman dengan zaman yang lain. Perbedaan
tersebut disebut dengan cakrawala harapan. Sedang cakrawala harapan seseorang
ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan, dalam
menanggapi sebuah karya sastra.
Disamping
adanya perbedaan cakrawala harapan, meskipun pembaca telah menemukan makna
karya sastra, ada tempat-tempat terbuka yang memungkinkan pembaca untuk
mengisinya. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra sendiri yang
mengandung kemungkinan banyak tafsir. Hal-hal yang kecil atau yang tak langsung
berhubungan dengan cerita, seringkali tidak dijelaskan dalam sebuah karya
sastra. Dengan demikian setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan tersebut.
D. Ciri-Ciri
Pendekatan Estetik
Adapun ciri-ciri dari pendekatan estetik adalah sebagai
berikut:
1)
nilai
keindahan ditentukan sepenuhnya oleh pembaca karya sastra;
2)
karya sastra
menjadi objek tiruan alam;
3)
pendekatan
estetik termasuk pada orientasi pragmatik;
4)
penilaian
estetik dipengaruhi oleh cakrawala harapan pembacanya;
5)
pendekatan
estetik ditentukan oleh perspektif sinkronis dan diakronis.
E. Metode
Pendekatan Estetik
Metode estetika resepsi ini,
diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan pada
sebuah karya sastra oleh pembacanya, tentusaja pembaca yang aktif dan cakap
yaitu para kritikus sastra dan ahli sastra yang dapat dipandang mewakili para
pembaca pada periodenya. Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika
resepsi ialah dengan cara:
1)
merekonstruksi
bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya, dan
2)
meneliti
hubungan diantara konkretisasi-konkretisasi itu, dan di pihak lain meneliti
hubungan diantara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki
konkretisasi-konkretisasi itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurhayatin,
Titin. 2011. “Ajarkan Membaca Prosa Fiksi dengan Pendekatan Estetika Resepsi.”
(Online). (http://berita.upi.edu/2011/07/20/ajarkan-membaca-prosa-fiksi-dengan-pendekatan-estetika-resepsi/ dikunjungi pada 11 September 2014).
Quryatul,
Binti. 2012. “Teori Estetika Resepsi.” (Online).
(http://binti-quryatul-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-81904-Umum-Teori%20Estetika%20Resepsi.html, dikunjungi pada
11 September 2014).
Sartika,
Itha. 2011. “Pendekatan Resepsi Sastra.” (Online).
(http://ithasartika91.blogspot.com/2011/02/pendekatan-resepsi-sastra.html, dikunjungi pada
11 September 2014).
Shilda.
2012. “Estetika Resepsi.” (Online). (http://shildavtec.blogspot.com/2012/05/estetika-resepsi.html, dikunjungi pada
11 September 2014).
Sofyan,
Donny. 2012. “Teori Resepsi Sastra.” (Online). (http://www.harianhaluan.com/index.php/kultur/14556-teori-resepsi-sastra-menurut-iser, dikunjungi pada
11 September 2014).
Yoanita,
Eunike. 2011. “Estetika Resepsi.” (Online).
(http://eunikeyoanita.blogspot.com/2011/01/estetika-resepsi.html, dikunjungi pada
11 September 2014).
Komentar
Posting Komentar